Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, apabila dikatakan kebenaran filsafat berarti kebenaran menyeluruh dari hasil pemikiran yang cermat dan renungan kritis. Menurut kandungan materi yang dibahas secara garis besar ada empat cabang filsafat yaitu: metafisika, epistemologi, logika, dan etika.
Metafisika merupakan filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 1997) pada filsafat metafisika ini dalam memandang manusia ada dua hal yaitu: (1) manusia pada hakekatnya adalah spiritual karena yang ada sebenarnya yaitu jiwa atau roh sedangkan organ tubuh yang lain semu belaka. Sehingga pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan bertujuan untuk mengaktualisasi diri.
Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran. Menurut Pidarta (1997) dalam membahas filsafat epistemologi ada lima sumber ilmu pengetahuan dan empat teori kebenaran. Lima sumber ilmu pengetahuan, yaitu: (1) otoritas, yang terdapat pada ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel; (2) common sense, yang ada pada adat dan tradisi; (3) intuisi yang berkaitan dengan perasaan; (4) pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman; (5) pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah. Adapun empat teori kebenaran, meliputi sebagai berikut: (1) Koheren, sesuatu akan benar apabila ia konsisten dengan kebenaran umum. (2) Korespondensi, sesuatu akan benar apabila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan. (3) Pragmatisme, sesuatu dipandang benar apabila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan. (4) Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berfikir dengan benar. Melalui pemahaman tentang filsafat logika dimungkinkan manusia bisa berfikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
Etika sebagai filsafat yang menjelaskan tentang perilaku manusia yang didalamnya meliputi adanya norma yang berlaku di masyarakat, nilai-nilai yang diakui masyarakat dan ajaran agama sebagai bahan pokok pemikiran dalam filsafat etika.
Pengertian
Dalam bahasan ini yang dimaksud filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya (Pidarta, 1997). Pengertian “sesuatu” dalam pengertian filsafat tersebut dapat berarti “terbatas” dan dapat pula berarti “tidak terbatas”. Bila berarti “terbatas” filsafat membatasi diri akan hal-hal tertentu saja, misalnya filasafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Apabila berarti “tidak terbatas” filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering disebut sebagai filsafat umum.
Sedangkan pengertian dari filsafat ilmu pengetahuan adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan soal pengetahuan dan bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu. Pertanyaan mendasar dalam filsafat pengetahuan meliputi : (1) apakah pengetahuan itu (2) bagaimana kita memperolah pengetahuan dan bagaimana kita tahu tentang sesuatu serta mempertanyatakan hakikat pengertian dengan bertanya (3) apakah kebenaran itu (Bodner, 1986; Ryan & Cooper, 1992 dalam Suparno, 1997).
Munculnya filsafat konstruktivisme, menurut von Glasersfeld, 1988 (dalam Suparno, 1997) bermula dari adanya pengertian konstruktif kognitif yang muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan olah Jean Piaget (baca Jin Piasye) ilmuwan dari Perancis ini. Dengan demikin Mark Baldwin dan Jean Piaget sebagai tokoh yang berjasa dalam mengembangkan filsafat konstruktivisme dalam ilmu pengetahuan.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang dimengerti manusia sesudah ia menyaksikan, mengamati dan mempelajari. Pengetahuan merupakan ungkapan dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamatan obyektivisme. Pengetahuan telah ditangkap manusia lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Dengan demikian tidak ada yang baku dalam pengetahuan karena suatu saat dapat berubah setelah ditemukan lagi dalil atau teori baru.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.
Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Dengan demikian manusia mengetahui sesuatu berdasarkan interaksi dengan obyek dan lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penjamahan, penciuman, dan merasakannya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Maka pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru kepada otak murid. Oleh karena itu perlu disadari bahwa murid sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka selama ini.
Semua pengetahuan yang kita peroleh merupakan konstruksi kita sendiri. Pengetahuan tidak seperti barang yang dapat ditransfer (dialihkan) begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Apabila seorang guru bermaksud mentransfer (memindahkan) konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus ditafsirkan dan dikonstruksikan oleh seorang murid lewat pengalamannya selama ini (von Glasersfeld, 1996 dalam Suparno, 1997). Maka tidak heran selama ini banyaknya murid yang salah menangkap apa yang diajarkan guru mereka sehingga menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja, melainkan harus dikonstruksikan atau minimal ditafsirkan sendiri oleh murid.
Secara efektif agar seseorang dapat melakukan proses konstruksi diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dengan yang lainnya (von Glasersfeld, 1996 dalam Suparno, 1997). Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengetahuan sangat penting kerena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting agar dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus dan dapat melihat kesamaan serta perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.
Menurut Jean Piaget, 1970 (dalam Suparno, 1997) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan, yaitu; (1) aspek figuratif, dan (2) aspek operatif. Aspek berfikir figuratif adalah imajinasi keadaan sesaat dan statis yang meliputi suatu persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap obyek atau fenomena. Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu tingkatan ke tingkatan lain. Setiap tingkat keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan demikian aspek yang lebih penting dari berfikir adalah aspek operatif sebab memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu tingkatan tertentu ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pentingnya melakukan konstruksi mengenai pengetahuan bertujuan untuk mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan realitas. Dengan kata lain mengkonstruksikan pengetahuan yang sesuai dengan pengalaman hidup manusia sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru (Shapiro, 1994 dalam Suparno, 1997).
Gagasan konstruktivisme terhadap pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut: (1)pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia nyata belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui subyek. (2) Subyek membentuk skema kognisi, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. (3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (von Glasersfeld dan Kitchener, 1987 dalam Suparno, 1997).
Kebenaran dalam Filsafat Konstruktivisme
Pengetahuan yang telah kita miliki selama ini bukanlah realitas dalam arti umum. Dalam filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Adapun yang dimengerti oleh manusia adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu obyek. Dengan demikian para ahli konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana manusia menjadi tahu akan sesuatu.
Paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Dengan kata lain, orang dapat membuktikan pengetahuan yang dimiliki tentang sesuatu dengan cara membandingkan dengan realitas ontologis-nya. Sedangkan para penganut ajaran kontruktivisme berpendapat kebenaran itu bila ilmu pengetahuan telah teruji dengan memiliki viabilitas yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasionalnya. Dalam istilah sederhana dikatakan bahwa suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Referensi:
Hadi, P. Hardono.1994.Epistemologi Filsafat Pengetahuan 0leh Kenneth T.Gallangher, Yogyakarta: Kanisius
Pidarta, Made.1997. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar