Senin, 29 November 2010

Manusia yang Hatinya Telah Mati

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Persepsi tentang mati memang berbeda pada setiap orang. Ada yang merasa sudah mati ketika kehilangan kekasihnya. Ada yang merasa mati ketika ludes harta bendanya. Dan, ada yang menganggap hidupnya tak berarti saat dirundung kegagalan dan kedukaan akibat musibah.
Mati bukan hanya ketika seseorang telah mengembuskan napas terakhir, matanya terpejam, detak jantung terhenti, dan jasad tak bergerak. Itu semua hanya mati biologis. Kematiannya masih bermanfaat karena menjadi pelajaran bagi yang hidup. Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah kematian menjadi pelajaran, dan cukuplah keyakinan sebagai kekayaan." (HR At-Thabrani dari Ammar RA).
Alangkah banyak manusia sudah mati, tapi masih memberikan manfaat bagi yang hidup, yakni masjid atau madrasah yang mereka bangun, buku yang mereka tulis, anak saleh yang ditinggalkan, dan ilmu bermanfaat yang telah diajarkan. Meraka mati jasad, tapi pahala terus hidup (lihat QS al-Baqarah [2]: 154).
Sesungguhnya yang perlu diwaspadai adalah mati hakiki, yakni matinya hati pada orang yang masih hidup. Tak ada yang bisa diharapkan dari manusia yang hatinya telah mati. Boleh jadi dia hanya menambah jumlah bilangan penduduk dalam sensus. Hanya ikut membuat macet jalanan dan mengurangi jatah hidup manusia lain. Itu pun kalau tak merugikan orang lain. Bagaimana halnya dengan koruptor, orang yang merusak, dan menebar kejahatan di muka bumi?
Tanda manusia yang hatinya telah mati, antara lain, kurang berinteraksi dengan kebaikan, kurang kasih sayang kepada orang lain, mendahulukan dunia daripada akhirat, tak mengingkari kemungkaran, menuruti syahwat, lalai, dan senang berbuat maksiat.
Ada tiga hal yang bila kita tinggalkan akan menyebabkan kematian hati. Pertama, bila shalat ditinggalkan, itu akan membuat jiwa kalut. Kita akan terjerumus ke dalam perbuatan keji, terseret ke lembah kemungkaran dan kesesatan (QS al-Ankabut [29]: 45 dan QS Maryam [19]: 59), dan bisa menyusahkan serta merugikan orang lain.
Kedua, meninggalkan sedekah. Itu berarti kita egois, individualis, dan enggan berbuat baik. Kepedulian sosial seperti sedekah adalah bukti keimanan. Orang yang suka bersedekah hatinya lapang dan dijauhkan dari penyakit, khususnya kekikiran, sedangkan para dermawan selalu menebar kebajikan sehingga dekat dengan manusia, Allah, dan surga.
Ketiga, meninggalkan zikrullah adalah awal kematian hati. Hatinya akan membatu sehingga tak bisa menerima nasihat dan ajaran agama. Zikir akan menimbulkan ketenangan hati (QS Ar-Ra'd [13]: 28). Orang yang tenang hatinya akan berperilaku positif dan tak mau berbuat jahat.
Mukmin yang selalu shalat, senang bersedekah, dan memperbanyak zikrullah akan menjadi orang yang paling baik, memiliki hati yang hidup, dan menebar kebaikan kepada sesama. Bila kita merasa rajin shalat, sedekah, dan zikir, tetapi hatinya mati, kemungkinan besar shalat, sedekah, dan zikirnya cenderung formalitas tanpa jiwa.
Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Prof Dr Achmad Satori Ismail
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Hikmah Senin, 29 November 2010, 09:33 WIB
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/29/149387-manusia-yang-hatinya-telah-mati

Mengasah Ketajaman Mata Hati

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--"Katakanlah, 'Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah (argumentasi) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik'". (QS Yusuf [12]: 108).
Ayat di atas merupakan ajakan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berbasis hujah, atau argumentasi. Sebuah ayat untuk menegaskan bahwa kehidupan keberagamaan seseorang harus dibangun berdasarkan argumentasi yang kuat, melalui ketajaman mata hati, atau basirah.
Semakin luas dan tajam basirah seseorang, semakin serius pula amaliah dan praktik keberagamaannya. Keikhlasan dan keistikamahan akan lahir dengan sendirinya. Dalam ayat di atas, Allah mendampingkan proses kewajiban dakwah dengan basirah sebagai sebuah kewajiban syari yang dituntut oleh Islam.
Ibnu Katsir mengidentifikasi basirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan argumentasi syari dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani, basirah adalah pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang batil, benar dari salah, dan begitu seterusnya.
Untuk mendapati ketajaman basirah, banyak amaliah yang harus dipenuhi. Pertama, adanya sebuah kesadaran niat yang benar. Karena, niat yang salah akan turut mempengaruhi kinerja dan mengakibatkan kerja yang asal-asalan. Terlebih, ibadah dan amaliah ketaatan cenderung naik turun. Inilah rahasianya mengapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan tulus karena Allah.
Kedua, untuk menajamkan basirah, mutlak seseorang harus tobat secara sungguh-sungguh. (QS At-Tahrim [66]: 8). Ketiga, menyisihkan hasrat dunia dengan tak tebersit untuk menabung banyak dosa dan maksiat. (QS Al-Hujurat [49]: 11). Keempat, serius menjaga amalan wajib dan menghidupkan yang sunah (QS Thoha [20]: 90).
Kelima, menghidupkan waktu terutama di malam hari dengan banyak berzikir dan bermuhasabah. Siang banyak berbuat kebajikan dan malam tidak dihabiskan dengan tidur. "Sesungguhnya, mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia, mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. Dan, selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar". (QS Adz-Dzariyat [51]: 16-18).
Hal lain adalah menumbuhkan rasa takut terhadap hisab akhirat. Selain itu, perlu melatih ketekunan, kesabaran, dan kokoh terhadap gempuran godaan. Dari titik inilah, seseorang secara perlahan akan memiliki ketajaman mata hati (basirah) sehingga amaliah dakwahnya akan senantiasa dinamis dan cerdas mencari kreativitas baru dalam berdakwah.
Contoh sosok yang memiliki basirah mengagumkan adalah Nabi Nuh AS. Di tengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah. Ia tetap komit dan tegar, bahkan mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya.
Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Hikmah Jumat, 26 November 2010, 10:56 WIB
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/26/149047-mengasah-ketajaman-mata-hati

Kamis, 18 November 2010

RSBI JANGAN CARI MUKA

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Surabaya kembali dievaluasi. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengeluarkan keputusan, tidak akan mengucurkan alokasi anggaran untuk RSBI karena beberapa pertimbangan.
Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya menghapus item biaya operasional pendidikan (BOP) untuk RSBI. Penghentian tersebut diakui oleh Rismaharini, sebagai kesengajaan pemerintah kota (pemkot) Surabaya setelah melihat kualitas seluruh RSBI di Surabaya ada di bawah standar.
Salah satu poin yang disorot Risma terkait dengan RSBI adalah rendahnya kualitas guru dalam berbahasa Inggris yang di bawah rata-rata. Padahal standar RSBI, nilai TOEFL guru minimal di atas 300. Kenyataannya masih banyak guru yang belum lancar berbahasa Inggris. Karena itu, Risma mengingatkan, jangan silau dengan nama besar RSBI, yang penting kualitasnya bagus.
Keputusan cukup tegas Risma tersebut memang bisa diterima. Anggaran operasional RSBI di Surabaya yang selama ini digelontorkan cukup besar. Untuk membiayai 10 sekolah berstatus RSBI pemkot mengucurkan Rp 78 miliar. Sungguh mubazir bila anggaran sebesar itu tak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Karena itu, siapapun yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang berkualitas patut memberi dukungan pada Wali Kota Surabaya ini. Penghentian anggaran RSBI bukan sebagai cermin ketidak-berpihakan pemkot terhadap kualitas pendidikan yang unggul. Sebaliknya, sebagai upaya menyadarkan pengelola RSBI, bahwa anggaran besar itu merupakan investasi pendidikan yang harus dijawab dengan kualitas sepadan. Lebih baik bila biaya itu untuk memperbaiki kelas reguler yang selama ini kurang diperhatikan.
Taraf Internasional
Mencermati kebijakan pemkot Surabaya menghentikan anggaran RSBI tersebut patut menjadi contoh bagi kepala daerah kabupaten/kota yang lain untuk melakukan kebijakan serupa. Yaitu mengevaluasi keberadaan RSBI yang rata-rata belum mampu memenuhi target yang semestinya. RSBI selama ini tak lebih dari proyek aji mumpung pelaksana pendidikan untuk mendapat gelontoran dana dari pemerintah, sekaligus membuat standar biaya mahal yang harus ditanggung orangtua siswa yang selama ini terbuai dengan bertaraf internasional.
Semua itu tak lepas dari keawaman orangtua siswa, utamanya yang ada di daerah. Padahal saat ini kelas RSBI sudah merambah ke sekolah-sekolah di pelosok kecamatan. Hanya karena rasa bangga serta rengekan sang anak agar bisa diterima di kelas RSBI, mereka rela membayar di atas rata-rata sekolah reguler. Semua itu tak lepas dari hipnotis sarana kelas RSBI yang terkesan mewah dibanding kelas reguler.
Orangtua mungkin sekadar membayangkan anak-anak mereka akan menerima layanan pendidikan bertaraf internasional dan dalam waktu singkat anak-anak minimal bakal mahir berbahasa Inggris. Nyatanya? Realitas menunjukkan, tak ada bedanya antara kelas RSBI dengan kelas reguler biasa. Sang guru pun kembali pada habitatnya masing-masing, sesuai bidang studi yang menjadi keahliannya. Bahasa pengantar mereka dalam proses belajar-mengajar (kecuali pelajaran bahasa Inggris) tetap menggunakan bahasa Indonesia, yang kadang masih bercampur dengan bahasa Jawa.
Satu hal yang sangat mencolok pembedaannya ialah beban orangtua siswa yang anaknya ada di kelas RSBI terasa lebih berat. Anak-anak mereka tak mungkin mendapat subsidi atau bantuan pendidikan. Seakan telah menjadi dogma, bahwa siap masuk kelas RSBI, harus siap mengeluarkan biaya sendiri sepenuhnya. Kecerdasan anak belum menjadi jaminan mereka harus berada di kelas yang digembar-gemborkan berlevel internasional, bila tak diimbangi dengan kecerdasan finansial orangtua.
Inilah kenyataan yang tak dimungkiri berkaitan dengan RSBI. Terjadi diskriminasi hak untuk pendidikan yang layak benar-benar terpapar nyata. Di tengah harapan masyarakat agar anaknya mendapat pendidikan bertaraf internasional, justru beban biaya disejajarkan dengan standar internasional. Lagi-lagi bukan pendidikan berharga lokal, kualitas internasional. Sebaliknya, harga internasional, kualitas lokal.
Karena itu, kebijakan cerdas Wali Kota Surabaya ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi kabupaten/kota lainnya untuk melakukan evaluasi serupa. Daerah tak semestinya hanya mengejar penghargaan dari pemerintah pusat untuk disebut sebagai daerah yang sukses dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Pujian semestinya selaras dengan kenyataan yang ada secara riil. Bila dicermati, beberapa daerah yang pernah mendapat penghargaan presiden terkait dengan masalah pendidikan, dalam kenyataannya abu-abu belaka.
Sekolah harus berani menolak menjadi RSBI bila kemampuan yang dimiliki ternyata jauh dari prasyarat ideal RSBI. Jangan silau dengan kucuran anggaran pusat yang Rp 400 juta per tahun, kemudian memaksa diri dan wali siswa untuk menyetor jutaan rupiah agar anaknya bisa duduk di kelas RSBI.
Opini Abd Sidiq Notonegoro
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik
Surya Online Senin, 15 Nopember 2010 | 08:06 WIB
http://www.surya.co.id/2010/11/15/rsbi-jangan-cari-muka.html

Senin, 15 November 2010

Kendaraan Pembawa Amal Kebaikan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Salah satu problematika yang dihadapi kota-kota besar seperti Jakarta adalah kemacetan. Kendaraan seperti mobil dan sepeda motor di masa kini sama dengan kuda yang digunakan pada masa Rasulullah SAW, yakni sebagai alat transportasi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah menjelaskan tentang tiga tipe kuda.
Rasulullah bersabda, "Kuda itu ada tiga macam: menjadi dosa bagi seseorang, menjadi tameng bagi seseorang, dan menjadi ganjaran bagi seseorang. Pertama, adapun kuda yang menjadi dosa bagi seseorang adalah kuda yang diikat dengan maksud pamer, bermegah-megahan, dan memusuhi penduduk Islam. Kuda itu bagi pemiliknya merupakan dosa."
Kedua, adapun yang menjadi tameng bagi seseorang adalah kuda yang diikat pemiliknya untuk berjuang di jalan Allah, kemudian pemilik itu tidak melupakan hak Allah yang terdapat pada punggung dan leher kuda. Kuda itu menjadi tameng bagi pemiliknya (penghalang dari api neraka)."
Ketiga, kuda yang menjadi ganjaran bagi pemiliknya adalah kuda yang diikat untuk berjuang di jalan Allah dan untuk penduduk Islam pada tanah yang subur dan taman. Maka, sesuatu yang dimakan oleh kuda itu pada tanah subur atau taman pasti dicatat untuk pemiliknya sebagai kebaikan sejumlah yang telah dimakan oleh kuda, dan dicatat pula kebaikan untuk pemiliknya sejumlah kotoran dan air kencingnya."
Hadist yang tercantum dalam kitab Sahih Muslim (nomor 1647) itu menjelaskan bahwa kendaraan yang dimiliki akan menjadi dosa manakala dibeli dan digunakan dengan tujuan untuk pamer kekayaan dan digunakan untuk maksiat. Terlebih, uang untuk membelinya hasil korupsi.
Pemilik kendaraan hendaknya menyadari bahwa kendaraan yang dimilikinya pada hakikatnya milik Allah. Wajib baginya untuk merawat dan membayar zakatnya. Sehingga, kendaraan yang digunakannya itu nyaman digunakan untuk bekerja dan bersilaturahim. Dan, di akhirat kelak menjadi tameng bagi pemiliknya dari api neraka.
Selain itu, pemilik kendaraan pun bisa memberikan tumpangan kepada orang lain, seperti saudara, tetangga, dan teman sekantor. Sehingga, kendaraan itu tak dibiarkan melaju dengan kosong. Kendaraan yang digunakan di jalan Allah, baik bahan bakar minyak, polusi, suara mesin, maupun kecepatan yang dikeluarkannya, akan berbuah pahala bagi pemiliknya. Mari mengatasi macet dengan berbagi dan peduli. Wallahu a'lam.
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Hikmah Ahad, 14 November 2010, 18:43 WIB
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/14/146712-kendaraan-pembawa-amal-kebaikan

Amalan Utama Dzulhijah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--"Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini, (yaitu 10 hari pertama bulan Zulhijah)," sabda Nabi SAW.
Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Rasulullah menjawab, "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, tetapi tak ada yang kembali satu pun." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ahmad).
"Ketahuilah, amalan di sepuluh hari awal Zulhijah akan dilipatgandakan," sabda Nabi SAW dalam hadis lainnya. Terlepas perbedaaan pelaksanaaan Idul Adha 1431 H, ada baiknya kita alihkan perhatian pada sesuatu yang lebih utama, yaitu merebut perhatian Allah SWT dengan menghadirkan amalan-amalan yang disukai-Nya.
Pertama, puasa. Dari istri Hunaidah bin Kholid, beberapa istri Nabi SAW mengatakan, "Rasulullah biasa berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah, pada hari Asyura (10 Muharram), dan berpuasa tiga hari setiap bulannya." Di antara sahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari awal Zulhijah adalah Ibnu Umar.
Kedua, memperbanyak takbir dan zikir. Termasuk di dalamnya membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, dan doa. Disunahkan untuk mengeraskan suara ketika melewati pasar, jalan-jalan, masjid, dan tempat-tempat lainnya.
Ibnu Abbas berkata, "Berzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang ditentukan, yaitu 10 hari pertama Zulhijah dan juga pada hari-hari tasyrik." Ibnu Umar dan Abu Hurairah pernah ke pasar pada sepuluh hari pertama Zulhijah, mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir.
Ketiga, menunaikan ibadah haji dan umrah. Nabi SAW ditanya, "Amalan apa yang paling afdal?" Beliau menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ada yang bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." Ada yang bertanya kembali, "Kemudian apa lagi?" Nabi SAW menjawab, "Haji mabrur!" (HR Bukhari).
Keempat, memperbanyak amalan saleh, seperti shalat sunah, sedekah, membaca Alquran, dan ber-amar makruf nahi mungkar. Kelima, berkurban. Pada hari nahr (10 Zulhijah) dan hari tasyrik disunahkan untuk berkurban. "Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." (QS al-Kautsar [108]: 2).
Keenam, bertobat. Jika kita pernah berzina, membunuh tanpa hak, mencandu minuman (khamr), atau sering meninggalkan shalat lima waktu, segeralah bertoba
"Katakanlah, 'Hai, hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (QS az-Zumar [39]: 53).
Menurut Ibnu Katsir, ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat, baik kekafiran maupun lainnya, untuk segera bertobat kepada Allah. Sang Khalik pun akan mengampuni seluruh dosa setiap hamba yang bertobat walaupun dosanya sangat banyak. Wallahu a'lam.
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Hikmah Senin, 15 November 2010, 12:35 WIB
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/15/146783-amalan-utama-zulhijah

Sabtu, 13 November 2010

Muhammadiyah Diizinkan Molor Kerja Pada Idul Adha 1431

SURABAYA - Surya- Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur meminta Gubernur Soekarwo untuk meliburkan semua kantor dan instansi pada hari Selasa (16/11) mendatang atau bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha versi Muhammadiyah. Hari raya ini sehari lebih awal dari ketetapan Kementerian Agama yang jatuh pada Rabu (17/11).
“Kami sudah mengirim surat kepada Gubernur Jatim. Kami berharap gubernur memberikan toleransi kepada kaum muslim yang ikut Idul Adha tanggal 16, bisa melaksanakan ibadahnya dengan khusyuk,” jelas Nadjib Hamid, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, Jumat (12/11).
Dalam surat itu, PW Muhammadiyah mengajukan dua opsi. Pertama, berharap kantor dan instansi diliburkan, seperti halnya hari libur Lebaran Idul Adha, Rabu (17/11). Namun, jika opsi libur tidak memungkinkan, PW Muhammadiyah berharap opsi kedua bisa diterapkan, yaitu memberikan toleransi dengan memundurkan jam masuk kantor sekitar satu sampai dua jam dari jam normal.
“Dimundurkannya jam masuk kantor ini, agar warga yang melaksanakan ibadah bisa khusyuk karena tidak dikejar-kejar waktu,” kata Nadjib.
Opsi mundur jam masuk kantor ini, kata Nadjib, bisa saja dibarengi dengan pengunduran jam pulang kantor. Dengan begitu lama jam kerja tidak terkurangi dan instansi tempat mereka bekerja tidak dirugikan.
Menurut Nadjib, tanpa kebijakan libur atau memundurkan jam kerja, kaum muslim akan kesulitan melaksanakan ibadahnya. Terutama karyawan kantor, pegawai negeri sipil (PNS), dan para siswa di sekolah-sekolah negeri.
Selain mengirim surat kepada Gubernur Jawa Timur, Muhammadiyah juga mengimbau warga yang melaksanakan Idul Adha hari Selasa tidak melalaikan tugas dan pekerjaannya. Mereka diminta segera melaksanakan pekerjaan dan aktivitasnya, begitu salat Id selesai.
Begitu juga dengan panitia salat Id diimbau memperpendek prosesi salat Id. Misalnya dengan memperpendek materi khotbah.
Permintaan PW Muhammadiyah Jatim tersebut langsung direspons Gubernur Soekarwo. Gubernur yang akrab disapa Pakde Karwo itu tidak mengabulkan permintaan libur, tetapi tidak mempermasalahkan jika pegawai di lingkungan Pemprov terlambat masuk kerja guna melaksanakan salat Id pada hari Selasa (16/11). Jadi, pada tanggal itu pegawai masih harus masuk kerja. “Yang penting pegawai yang bersangkutan mengajukan izin (terlambat masuk kantor),” ujar Pakde Karwo kepada Surya, Jumat (12/11).
Namun, karena hal itu menyangkut laku ibadah yang sifatnya personal, maka izin yang disampaikan ke unit kerja atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masing-masing harus bersifat pribadi. Tak boleh bersifat massal. “Dan yang terpenting, setelah salat Id selesai, harus masuk kerja lagi. Jangan malah dipakai aji mumpung untuk mbolos kerja,” jelasnya.
Dengan adanya kebijakan ini, kata Pakde Karwo, pihaknya tidak perlu harus meliburkan pegawai pada hari Selasa (16/11), dengan menerbitkan, misalnya, Surat Edaran (SE) atau Surat Keputusan (SK). nuji/ian
Surya Online Sabtu, 13 Nopember 2010 | 09:58 WIB
http://www.surya.co.id/2010/11/13/pns-muhammadiyah-diizinkan-molor-kerja.html

Rabu, 10 November 2010

Catatan Ahmad Syafii Maarif tentang Mbah Maridjan

REPUBLIKA.CO.ID, Semula saya tidak tertarik untuk menulis tentang isu ini, tetapi di internet sedang berlangsung polemik pro-kontra tentang kematian Mbah Maridjan (1927-2010) yang dikenal sebagai kuncen (juru kunci) Gunung Merapi. Sebelum menduduki posisi itu pada 1982, dia merupakan pembantu bapaknya sebagai kuncen. Tugasnya cukup dahsyat: menjinakkan Gunung Merapi.
Namanya menjadi sangat populer ketika pada tahun 2006 imbauan Sultan Hamengkubuwono X bersama ahli vulkanologi tidak dihiraukannya agar meng ungsi karena kemungkinan Gunung Merapi akan erupsi. Kebetulan saat itu ilmu titennya manjur, tidak terjadi letusan.
Akibatnya, sosok yang sangat sederhana ini melangit. Sebuah perusahaan minum an bahkan menjadikannya sebagai bintang iklan dengan bayaran sebesar Rp 150 juta, sedangkan gajinya sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta hanyalah Rp 10 ribu per bulan.
Gelarnya sebagai abdi dalem penjaga Gunung Merapi adalah R Ng Surakso Hargo atau Mas Penewu Surakso Hargo (penunggu gunung). Dia tinggal di Desa Kinahrejo secara berketurunan. Dalam mitologi Jawa Keraton Gunung Merapi ada bahureksonya, penguasa Merapi yang terletak di utara Yogya itu, sedangkan di selatan dipercayai pula adanya Nyi Loro Kidul, penguasa laut selatan. Keraton Yogya berdiri di tengah-tengahnya.
Sudah tentu semua mitos itu bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja
Mataram. Dengan menciptakan berbagai mitos yang sarat klenik itu, diharapkan tidak akan ada kekuatan yang dapat menghancurkan Mataram. Di era Islam, kepercayaan semacam ini diselimuti dengan ajaran-ajaran agama yang kemudian membentuk Islam Jawa (kejawen).
Tradisi ini ternyata bisa bertahan selama ratusan tahun dengan plus-minusnya. Plusnya, secara sosiologis dari sudut penyebaran Islam, mayoritas rakyat Jawa telah menjadi Muslim, terlepas dari kualitasnya.
Minusnya, akan sulit dibedakan antara ajaran autentik Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid dan apa yang disebut kearifan lokal yang sudah bercampur aduk dengan tradisi kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Sebuah sinkretisme yang sangat awet dan fenomenal.
Mbah Maridjan adalah produk dari tradisi panjang yang sudah diislamkan itu.
Secara pribadi dia adalah seorang saleh, rajin beribadat, punya masjid, suka memberi, bahkan menjadi pengurus tingkat ranting sebuah gerakan Islam. Tetapi, pengabdiannya terhadap perintah Sultan Hamengkubuwono IX agar siap menjadi orang terakhir yang mengungsi saat bahurekso marah telah berakhir dengan sebuah tragedi. Di sini terjadi ketegangan antara sikap menjunjung dawuh dan risiko maut. Mbah Mardjan, saya tidak tahu persis, telah menempuh jalan kedua.
Sekiranya Merapi tidak cepat meledak, boleh jadi Mbah Mardjan akan mengungsi juga sebab pihak yang membujuk telah berdatangan sebelumnya. Kita tentu mendoakan arwah Mbah Mardjan diterima Allah dengan pengabdiannya yang hampir tanpa batas itu, tak perlu dikaitkan dengan tradisi Jawa yang sulit dipisahkan dengan struktur batinnya. Namun, siapa pun yang akan ditunjuk sebagai kuncen berikutnya, janganlah terlalu mengandalkan ilmu titen, dengarlah dengan baik saran Dr Surono, pakar gunung berapi yang wajahnya tampak dalam situasi kelelahan yang berat.
Gunung Merapi adalah gejala alam dengan hukum-hukum dan perilakunya sendiri. Sekalipun ilmu pengetahuan belum dapat membaca perilakunya itu dengan kesimpulan yang serbapasti, setidak-tidaknya pendekatan keilmuan jauh lebih unggul dari ilmu rasa yang lebih banyak berdasarkan empirisme tanpa melalui pembuktian ilmiah.
Akhirnya, polemik internet sebaiknya dihentikan saja, kecuali untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan. Mbah Maridjan sendiri sebenarnya mengakui vulkanologi yang perlu dipelajari. Saat ditanya tentang erupsi Gunung Merapi, dengan bahasa Jawa dijawabnya: "Yo nek bab kui, takona nang vulkanolog." (Jika mengenai masalah itu, tanyakan kepada vulkanolog).
Dilema Mbah Maridjan adalah dalam menghadapi gejala alam, ilmu titennya tidak jarang lebih dominan. Yang perlu dijaga adalah agar kuburannya tidak dijadikan tempat keramat yang dapat menyeret bangsa ini ke tempat jatuh yang lebih tinggi, sekalipun ilmu pengetahuan sendiri bukanlah dewa. Ilmu pengetahuan juga terbatas dan nisbi. Allahu a'lam.
Republika OnLine » Breaking News » Nusantara Rabu, 10 November 2010, 05:44 WIB
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/11/10/145750-catatan-syafii-maarif-tentang-mbah-maridjan

Pahlawan di Sisi Allah SWT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pada zaman Rasulullah, hiduplah seorang lelaki bernama Amir bin Jamuh. Meskipun kakinya pincang, Amir bertekad untuk ikut bertempur dalam Perang Uhud. Sejumlah sahabat mencegahnya. "Engkau sebaiknya tak ikut berperang karena kakimu pincang." Namun, Amir yang didukung istrinya tetap bertekad untuk ikut membela agama Allah SWT.
"Aku tidak percaya mereka telah melarangmu untuk ikut dalam pertempuran itu," tutur sang istri. Mendengar dukungan dari istrinya, Amir segera mengambil senjata, kemudian berdoa, "Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku."
Amir lalu menemui Rasulullah SAW. Dengan gigih, ia meyakinkan Nabi SAW. Sebenarnya, Nabi Muhammad meminta Amir agar tak ikut berperang. Namun, Amir terus mendesak dan akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.
Di medan pertempuran, Amir berteriak, "Demi Allah, aku ini sangat mencintai surga." Amir akhirnya gugur syahid di medan pertempuran. Setelah mendengar kabar kematian suaminya, sang istri segera mengendarai seekor unta untuk membawa pulang jenazahnya.
Ketika jenazah Amir diletakkan di atas unta, hewan itu tak mau berdiri. Berbagai upaya dilakukan, unta itu tetap tak mau berjalan, tapi malah asyik memandang Uhud. Ketika Rasulullah mengetahui kabar itu, beliau bersabda, "Sesungguhnya, unta itu telah diperintahkan untuk berlaku demikian. Adakah Amir mengatakan sesuatu ketika ia akan pergi meninggalkan rumahnya?"
Istrinya memberi tahu Rasulullah. Sebelum meninggalkan rumah untuk bertempur di medan perang, Amir menghadap kiblat sambil berdoa, "Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku." Itulah sebabnya, kata Rasulullah, unta itu tak mau pulang.
Kisah yang tercantum dalam kitab Himpunan Fadilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi itu menggambarkan keberanian dan kepahlawanan orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka hanya berharap menjadi pahlawan yang gugur syahid di sisi-Nya.
Dalam surah Ali Imran [3] ayat 169-170, disebutkan bahwa orang yang gugur di jalan Allah sebenarnya tak mati, tetapi hidup di sisi Sang Khalik. Menurut Quraish Shihab, secara jasmani mereka telah mati, namun hidup dalam kehidupan yang berbeda dengan dunia.
Mereka yang gugur di jalan Allah SWT benar-benar hidup di alam yang lain, berbeda dengan alam kita. Mereka tetap bergerak, bahkan mereka lebih leluasa dari manusia di bumi ini. Mereka tahu lebih banyak dari apa yang diketahui oleh yang berdenyut jantungnya.
Di alam sana, orang-orang yang gugur di jalan Allah telah melihat dan mengetahui nomena, bukan fenomena. Mereka juga mendapat rezeki dari Allah yang sesuai dengan kehidupan alam barzah. Maka itu, mereka bergembira karena berada dalam kehidupan yang sebenarnya di sisi Allah.
Mudah-mudahan, para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi pahlawan yang mendapat gelar yang paling tinggi, yaitu sebagai syuhada di sisi Allah SWT.
Republika OnLine Rabu, 10 November 2010, 11:28 WIB
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/11/10/145821-pahlawan-di-sisi-allah-swt

Mengenang Heroisme Pertempuran 10 November 1945 Kalah Perang Kok Jadi Hari Pahlawan?

Pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Itu diputuskan oleh almarhum Presiden Soekarno pada 31 Oktober 1946 melalui Surat Penetapan bernomor 9/OEM/1946. Mengapa tanggal itu dipilih padahal dalam peperangan 10 November 1945, para pejuang RI akhirnya kalah?
Pertempuran yang meletus pada 10 November 1945 berawal dari ultimatum pasukan Sekutu (yang diwakili Inggris) kepada para pejuang Indonesia, khususnya di Surabaya.
Pasukan Sekutu mulai berdatangan di Indonesia, termasuk Surabaya, pada 15 September 1945 setelah Sekutu menang Perang Dunia (PD) II melawan pasukan As –yang diperkuat Jerman dan Jepang.
“Karena Belanda berada di pihak Sekutu saat PD II, Belanda membonceng kedatangan pasukan Sekutu itu untuk mengembalikan kedudukannya di Indonesia setelah sebelumnya Indonesia jatuh ke tangan Jepang (1942-1945),” kata Eddy Emanuel Samson, 76, anggota Tim 11 Cagar Budaya Kota Surabaya kepada Surya pekan lalu.
Mengetahui diboncengi Belanda, para pejuang Indonesia tidak menyambut baik masuknya Sekutu yang berdalih untuk melucuti pasukan Jepang itu.
“Tembak-menembak sporadis terjadi antara tentara Sekutu dan pejuang Indonesia sejak 15 September itu,” tutur Hartoyik, 82, Ketua Veteran 45 Surabaya,
Puncaknya, kata Hartoyik, adalah saat ultimatum diberikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh setelah tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Sekutu/Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 di sekitar Jembatan Merah. Mansergh merupakan pengganti Mallaby, dan menuduh bahwa yang menewaskan Mallaby adalah pejuang Indonesia.
Mansergh mengancam, mulai 9 November sampai 10 November pukul 06.00 WIB para pejuang harus menyerahkan diri beserta senjatanya dengan mengangkat tangan di atas kepala. Jika batas waktu 10 November itu dilewati dan ultimatum tidak dipenuhi, maka Surabaya akan digempur habis-habisan.
Benar juga, lepas pukul 06.00 WIB pada 10 November, pasukan Inggris mulai melancarkan gempuran besar-besaran dan dahsyat, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian Kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat.
Diperkirakan, sekitar 60.000 pejuang gugur, dan sekitar 200.000 rakyat sipil berbondong-bondong mengungsi dari Surabaya untuk menghindari perang.
Akhirnya, setelah bombardir selama sekitar 100 hari, Surabaya berhasil jatuh ke tangan Sekutu.
Kalau dalam peperangan 10 November para pejuang Indonesia kalah, mengapa tanggal itu justru diperingati sebagai Hari Pahlawan?
Menurut Eddy Emanuel Samson, yang juga ketua de Indo Club Surabaya, peperangan tersebut tak bisa dilihat sebagai persoalan kalah atau menang dalam jangka pendek.
Eddy –yang lahir di Tambaksari dan berusia 12 tahun saat terjadi perang 10 November—menjelaskan, awalnya pasukan Sekutu mengira bahwa dengan persenjataan modern dalam jumlah besar, mereka akan bisa tundukkan Surabaya dalam 3 hari.
Nyatanya, perang tersebut berlangsung hampir 100 hari hingga melewati Desember 1945. Ini karena tak hanya pasukan resmi Republik Indonesia (yakni Tentara Keamanan Rakyat) yang terlibat perang. Milisi-milisi rakyat yang dibentuk oleh organisasi-organisasi keagamaan sepertu NU juga ikut mendukung setelah munculnya resolusi jihad yang dicetuskan para ulama Jatim, di antaranya KH Hasyim Asy`ari (pendiri NU), KH. Wahab Hasbullah serta para kyai pesantren lainnya.
Meskipun kalah, kegigihan dan militansi para pejuang arek-arek Suroboyo dalam menghadapi pasukan penjajah telah mengilhami rakyat di daerah-daerah lain di Indonesia untuk berani melawan penjajah baru. Di antaranya di Jakarta pada tanggal 18 November, di Semarang pada 18 November, di Riau 18 November, di Ambarawa tanggal 21 November, di Bandung 6 Desember dan di Medan pada 6 Desember.
”Perjuangan arek-arek Suroboyo telah menggugah rasa kebersamaan patriotik dalam perjuangan,” kata Eddy. Itu pula tampaknya alasan yang mendasari Pemerintah di zaman Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Soal perang di Surabaya, Eddy Samson memiliki fotokopi potongan berita koran United Press terbitan Inggris. Dalam surat kabar bertanggal 22 November 1945 tertulis bahwa penyerangan sekutu di Kota Surabaya diduga telah menyebabkan 60.000 warga Kota Surabaya tewas, termasuk sekitar 5.000 warga etnis Tionghoa yang bermukim di Surabaya.
Surya Online Rabu, 10 Nopember 2010 | 07:09 WIB
http://www.surya.co.id/2010/11/10/10-november-kalah-perang-kok-jadi-hari-pahlawan.html