Jumat, 30 Oktober 2009
Malam semakin larut (Ina Tresnawati)
Malam semakin larut...langit semakin kelam...sepi yang mencekam...kenapa kantukku tak jua datang...aku ingin tidur...ingin kurebahkan tubuhku...kupejamkan mataku...kutenangkan fikiranku...dan do'a-doa terucap...semoga kantukku datang dan aku terlelap dalam keheningan....semoga esok masih bisa bertemu senyuman mentari dan orang-orang yang kusayangi (Ina Tresnawati, facebook kamis 29 Oktober 2009 pukul 21.50 WIB)
Kamis, 29 Oktober 2009
Pendidikan Patriotisme (Oleh Suwandi, S.Pd.,M.Pd.*)
Patriotisme secara etimologi berasal dari kata dasar patriot yang artinya pecinta (pembela) tanah air. Maka patriotisme mempunyai makna semangat cinta tanah air yang diwujudkan dengan sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.
Dalam ensiklopedi Indonesia patriotisme diartikan sebagai rasa cinta tanah air dan kesetiaan seseorang kepada tanah air dan bangsanya, kekaguman kepada adat dan kebiasaannya, serta sikap pengabdian demi kesejahteraan tanah airnya. Di dalamnya juga terkandung makna rasa persatuan dan kesatuan bagi bangsanya.
Secara sederhana patriotisme adalah rasa cinta pada tanah air yang membuahkan sikap pengabdian dan pengorbanan jiwa, raga, materi, dan seluruh kemampuan yang dimilikinya demi kejayaan dan kesejahteraan tanah airnya. Dari pemahaman tersebut seringkali disebut secara bersamaan dengan kata nasionalisme. Kata nasionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesadaran keanggotaan dari suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Dari pemahaman ini istilah patriotisme dan nasionalisme saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan Hans Wehr memberikan makna sepadan antara dua istilah tersebut. Karena qaummiyah yang artinya kebangsaan disejajarkan dengan kata wathoniyyah yang artinya cinta tanah air.
Memahami paparan diatas dapat dirumuskan sebuah pengertian pendidikan patriotisme sebagai: bimbingan dan bantuan yang diberikan secara sadar melalui interaksi yang komunikatif antara pendidik (ustadz) dan peserta didik (murid) dalam rangka pembentukan patriot-patriot bangsa yang siap mengabdi dan berkorban untuk kejayaan dan kesejahteraan bangsa dan negaranya.
Pendidikan Patriotisme Dalam Prespektif Islam
Perasaan cinta tanah air diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan dianjurkan oleh Rosulullah SAW terbukti dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dari Anas: Rosulullah SAW bersabda “Cinta Arab sebagian dari iman dan yang membencinya adalah munafik”. Hadits ini mengisyaratkan bahwa patriotisme sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebab bila dicermati, kata “Arab” tersebut bermakna bangsa Arab, bahasa Arab, dan tanah (air) Arab. Walaupun tidak ditegaskan apakah Hadits itu bermakna bangsa, bahasa, dan tanah air. Makna dibalik pemahaman ini bahwa bangsa, bahasa, dan tanah air melekat pada kata “Arab” yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Dalam kaitannya dengan hidup berbangsa dan bernegara, ada dua makna yang terkandung dalam hadits tersebut: (1) jika anjuran Nabi itu ditujukan kepada orang Arab, berarti hadits tersebut bertujuan menanamkan patriotisme, dan (2) jika hadits itu ditujukan kepada seluruh ummat Islam, berarti hadits tersebut mengajak mencintai semua bangsa untuk saling mencintai. Dengan kata lain yang bukan bangsa Arab (‘Ajam) mencintai bangsa Arab, yang bangsa Arab mencintai bukan bangsa Arab, sebab ummat Islam tidak hanya terdiri dari orang Arab saja.
Patriotisme berbeda dengan fanatisme kesukuan yang jelas dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zubayr Ibnu Mat’am : “Bukan golonganku orang yang mengajak berkelompok (kesukuan / ashobiyyah) dan bukan golonganku orang yang berperang membela kelompoknya dan bukan golonganku orang yang mati karena kelompoknya”.
Sikap berkelompok atau ashobiyah (kesukuan) yang pada ujungnya berakibat pada perpecahan. Sedangkan agama Islam sangat menentang adanya perpecahan atau berpecah belah, sebagaimana firman Allah :”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS 3 Ali ‘Imron:103).
Dengan demikian fanatisme kelompok diangap dosa dan tidak dibenarkan dalam agama Islam karena sangat potensial menyebabkan perpecahan, bahkan fanatisme kelompok dapat mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu persatuan bangsa dan negara serta agama Islam.
Sementara itu patriotisme, bukanlah semangat kelompok kecil melainkan rasa cinta tanah air yang penuh dengan anjuran persatuan dan kesatuan. Maka patriotisme amat memungkinkan sebagai sarana (wasilah) membangun persatuan dan kesatuan dalam sebuah komponen besar pemerintahan yang sah, meskipun didalamnya ada berbagai suku dan adat istiadat.
Adapun tipe patriotisme yang dimiliki oleh ummat muslim adalah seseorang yang menjadi teladan bagi rakyat negaranya, apapun agama yang dianutnya. Mereka harus saling bekerjasama dalam segala aktivitas guna mempertahankan kedaulatan, mengembangkan ilmu pengetahuan, kebaikan, kekuatan dan segala sumber daya yang dimiliki oleh tanah air (Rashid Ridho, 1994).
Pendidikan patriotisme dimaksudkan untuk penanaman rasa cinta tanah air pada putra-putri bangsa melalui lembaga pendidikan sehingga membentuk patriot bangsa yang bertanggungjawab untuk mewujudkan kedaulatan, kesejahteraan, dan kejayaan negara sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan dibekali dengan ilmu pengetahuan yang memadai untuk membangun negaranya.
*) Penulis adalah aktivis Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Surabaya
Dalam ensiklopedi Indonesia patriotisme diartikan sebagai rasa cinta tanah air dan kesetiaan seseorang kepada tanah air dan bangsanya, kekaguman kepada adat dan kebiasaannya, serta sikap pengabdian demi kesejahteraan tanah airnya. Di dalamnya juga terkandung makna rasa persatuan dan kesatuan bagi bangsanya.
Secara sederhana patriotisme adalah rasa cinta pada tanah air yang membuahkan sikap pengabdian dan pengorbanan jiwa, raga, materi, dan seluruh kemampuan yang dimilikinya demi kejayaan dan kesejahteraan tanah airnya. Dari pemahaman tersebut seringkali disebut secara bersamaan dengan kata nasionalisme. Kata nasionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesadaran keanggotaan dari suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Dari pemahaman ini istilah patriotisme dan nasionalisme saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan Hans Wehr memberikan makna sepadan antara dua istilah tersebut. Karena qaummiyah yang artinya kebangsaan disejajarkan dengan kata wathoniyyah yang artinya cinta tanah air.
Memahami paparan diatas dapat dirumuskan sebuah pengertian pendidikan patriotisme sebagai: bimbingan dan bantuan yang diberikan secara sadar melalui interaksi yang komunikatif antara pendidik (ustadz) dan peserta didik (murid) dalam rangka pembentukan patriot-patriot bangsa yang siap mengabdi dan berkorban untuk kejayaan dan kesejahteraan bangsa dan negaranya.
Pendidikan Patriotisme Dalam Prespektif Islam
Perasaan cinta tanah air diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan dianjurkan oleh Rosulullah SAW terbukti dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dari Anas: Rosulullah SAW bersabda “Cinta Arab sebagian dari iman dan yang membencinya adalah munafik”. Hadits ini mengisyaratkan bahwa patriotisme sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebab bila dicermati, kata “Arab” tersebut bermakna bangsa Arab, bahasa Arab, dan tanah (air) Arab. Walaupun tidak ditegaskan apakah Hadits itu bermakna bangsa, bahasa, dan tanah air. Makna dibalik pemahaman ini bahwa bangsa, bahasa, dan tanah air melekat pada kata “Arab” yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Dalam kaitannya dengan hidup berbangsa dan bernegara, ada dua makna yang terkandung dalam hadits tersebut: (1) jika anjuran Nabi itu ditujukan kepada orang Arab, berarti hadits tersebut bertujuan menanamkan patriotisme, dan (2) jika hadits itu ditujukan kepada seluruh ummat Islam, berarti hadits tersebut mengajak mencintai semua bangsa untuk saling mencintai. Dengan kata lain yang bukan bangsa Arab (‘Ajam) mencintai bangsa Arab, yang bangsa Arab mencintai bukan bangsa Arab, sebab ummat Islam tidak hanya terdiri dari orang Arab saja.
Patriotisme berbeda dengan fanatisme kesukuan yang jelas dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zubayr Ibnu Mat’am : “Bukan golonganku orang yang mengajak berkelompok (kesukuan / ashobiyyah) dan bukan golonganku orang yang berperang membela kelompoknya dan bukan golonganku orang yang mati karena kelompoknya”.
Sikap berkelompok atau ashobiyah (kesukuan) yang pada ujungnya berakibat pada perpecahan. Sedangkan agama Islam sangat menentang adanya perpecahan atau berpecah belah, sebagaimana firman Allah :”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS 3 Ali ‘Imron:103).
Dengan demikian fanatisme kelompok diangap dosa dan tidak dibenarkan dalam agama Islam karena sangat potensial menyebabkan perpecahan, bahkan fanatisme kelompok dapat mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu persatuan bangsa dan negara serta agama Islam.
Sementara itu patriotisme, bukanlah semangat kelompok kecil melainkan rasa cinta tanah air yang penuh dengan anjuran persatuan dan kesatuan. Maka patriotisme amat memungkinkan sebagai sarana (wasilah) membangun persatuan dan kesatuan dalam sebuah komponen besar pemerintahan yang sah, meskipun didalamnya ada berbagai suku dan adat istiadat.
Adapun tipe patriotisme yang dimiliki oleh ummat muslim adalah seseorang yang menjadi teladan bagi rakyat negaranya, apapun agama yang dianutnya. Mereka harus saling bekerjasama dalam segala aktivitas guna mempertahankan kedaulatan, mengembangkan ilmu pengetahuan, kebaikan, kekuatan dan segala sumber daya yang dimiliki oleh tanah air (Rashid Ridho, 1994).
Pendidikan patriotisme dimaksudkan untuk penanaman rasa cinta tanah air pada putra-putri bangsa melalui lembaga pendidikan sehingga membentuk patriot bangsa yang bertanggungjawab untuk mewujudkan kedaulatan, kesejahteraan, dan kejayaan negara sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan dibekali dengan ilmu pengetahuan yang memadai untuk membangun negaranya.
*) Penulis adalah aktivis Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Surabaya
Kepemimpinan OSIS (Oleh Suwandi, S.Pd.,M.Pd)
Pemimpin pada hakekatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi anggota sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.
Untuk lebih jauh memahami kepemimpinan OSIS, perlu dikaji dan dipahami pengertian seperti: tugas dan tanggung jawab, maksud dan tujuan, kualifikasi serta ukuran sampai sejauh mana kepemimpinan OSIS berhasil melaksanakan tugasnya.
A.Tugas dan Tanggung jawab
Ada 4 macam tugas pokok pemimpin, yaitu: (1) merumuskan atau mendefinisikan misi organisasi; (2) mengusahakan tercapainya tujuan atau misi organisasi; (3) mempertahankan keutuhan organisasi dan; (4) mengatasi konflik.
Merumuskan misi organisasi Ada 7 misi utama OSIS, yaitu:(1) meningkatkan peran serta siswa dalam menjaga dan membina sekolah sebagai wawasan wiyata mandala; (2) menumbuhkan daya tangkal pada diri siswa terhadap pengaruh negatif; (3) memantapkan pelaksanaan ekstrakurikuler; (4) meningkatkan apresiasi dan penghayatan seni; (5) menumbuhkan sikap berbangsa dan bernegara; (6) menumbuhkan dan mengembangkan jiwa, semangat serta nilai-nilai perjuangan 45; (7) meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani.
Mengusahakan tercapainya misi atau tujuan, meliputi sebagai berikut:Memahami peranan OSIS baik sebagai definisi maupun sebagai sarana mencapai tujuan.
1. Sebagai definisi, OSIS adalah satu jalur pembinaan kesiswaan yang berfungsi sebagai organisasi intra sekolah untuk mencapai pembinaan kesiswaan
2. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan, OSIS berperan dalam: (a) menumbuhkan dan mengembangkan berbagai macam kemampuan, seperti: manajerial, kepemimpinan, berkomunikasi, kematangan berpikir dan nilai-nilai kepribadian siswa; (b) menumbuhkan dan menmgembangkan karier siswa.;(c) mengembangkan berbagai disiplin ilmu;(d) menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya; (e) tempat untuk saling bertukar fikiran, pengalaman dan pengetahuan; dan sarana mencapai tujuan pembinaan kesiswaan.
3. Memahami pengorganisasian OSIS yang meliputi: (a) perangkat OSIS; (b) pengurus OSIS; (c) perincian tugas
Kualifikasi yang perlu dimiliki pemimpin OSISiapapun yang akan diangkat dan ditugaskan untuk menduduki tanggung jawab sebagai pembina dan pemimpin siswa harus memiliki kualifikasi kepemimpinan.
1. Persyaratan kepemimpinan secara umum, yaitu : (a) kondisi fisik; (b) nilai-nilai kepribadian; (c) memiliki berbagai mancam keahlian; (d) berwibawa.
2. Persyaratan secara khusus, pembina dan pengurus OSIS harus memahami persyaratan yang telah ditetapkan, yaitu: (a) berbudi pekerti baik, sopan santun terhadap guru, orang tua dan teman-teman siswa; (b) memiliki bakat sebagai pemimpin; (c) berkemauan, kemampuan dan pengetahuan yang memadai; (d) dapat mengatur waktu, sehingga pelajaran tidak terganggu; (e) dicalonkan oleh perwakilan kelas.
3.Mengusahakan keutuhan organisasi
Keutuhan organisasi adalah mutlak demi terwujudnya kerjasama dan koordinasi antar sesama anggota, maupun unsur-unsur pemimpin yang lain. Keutuhan organisasi hanya akan terwujud apabila unsur-unsur pemimpin memiliki kewibawaan atau kharisma (kemampuan untuk mengendalikan bawahan atau orang lain).Seorang pemimpin yang paling baik (the best manager) adalah: seorang yang mampu mempengaruhi bukan hanya anggotanya, melainkan juga rekan sesama dan atasannya. Untuk itu maka setiap pemimpin perlu memiliki dan mendayagunakan kewibawaannya secara tepat, sehingga akan mendukung tercapainya keutuhan dan tujuan organisasi.
Ada beberapa indikator keberhasilan atas kewibawaan seorang pemimpin OSIS, yaitu dengan memperhatikan indikator, sebagai berikut: (a) rasa kebersamaan kelompok; (b) kerjasama antar kelompok dan antar kelompok dengan pembina, pengurus osis dan perwakilan kelas; (c) efisiensi pemberdaya manusia yang ada; (d) peningkatan kualitas kehidupan kerja; (e) tercapainya rasa percaya diri pada sesama siswa dan; (f) peningkatan kecakapan sesama siswa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
4.Mengatasi atau mengendalikan konflik
Konflik pada hakekatnya merupakan segala macam bentuk hubungan antar sesama siswa maupun dengan pemimpin secara pribadi maupun kelompok yang mengandung sifat berlawanan. Dapat pula diartikan bahwa konflik itu merupakan proses sosial antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya yang disebabkan oleh adanya perbedaan ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat-istiadat, dan keyakinan.
Konflik dalam organisasi bersumber pada: (a) manusia dan perilakunya; (b) organisasi; (c) komunikasi
Ada beberapa cara untuk menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (a) menekan konflik dengan cara yang halus; (b) membiarkan konflik selesai dengan sendirinya; (c) melalui kompromi; (d) mengkonfrontasikan pihak-pihak yang terlibat
B.Kualifikasi
Yang perlu dipertimbangkan dalam pengangkatan seorang pemimpin adalah: managerial skill(Keterampilan manajemen )
Ada 3 kategori keterampilan manajemen, yaitu:
1. Keterampilan teknis (tehnical skill )
a.pengetahuan mengenai metode, proses, prosedur dan macam-macam teknik untuk melaksanakan suatu kegiatan
b.kemampuan menggerakkan berbagai sarana yang ada.
2. Keterampilan hubungan manusia (human skill )
a.pengetahuan perilaku manusia dan proses kerjasama
b.kemampuan memahami isi hati, sikap dan motif orang lain mengapa mereka berkata dan melakukan pekerjaan
c.kemampuan berkomunikasi secara jalas dan efektif
d.kemamouan menciptakan kerjasama yang efektif dan koordinatif, praktis dan diplomatis
e.pengetahuan perilaku yang asptabel
3. Keterampilan konsepsional (conceptual skills )
a.kemampuan analisis
b.bersifat rasional
c.cakap dalam berbagai konsepsi
d.kreatif dalam berbagai ide dalam pemecahan masalah
e.mampu mengemukakan analisis berbagai kejadian serta memahami macam kecenderungan
f.mampu mengantisipasi perintah
g.mampu mengenali berbagai macam kesempatan dan problem-problem potensial.
Kesimpulannya: apabila kualifikasi yang meliputi aspek-aspek kapribadian, perilaku, kewibawaan, pemahaman serta dukungan teknis, kamampuan bekerjasama dan kemampuan konsepsional dimiliki oleh setiap pemimpin OSIS, berarti akan terpenuhinya kepemimpinan OSIS yang profesional.
C.Kriteria Keberhasilan
Keberhasilan kepemimpinan OSIS dapat dilihat dan dirasakan melalui 3 macam indikasi, yaitu: (1) dinamika OSIS sebagai organisasi; (2) sikap para siswa terhadap pengurus OSIS; (3) pengaruh kewibawaan pemimpin terhadap sesama siswa
D.Pelatihan
Sasaran pelatihan kepemimpinan diarahkan pada 3 macam sasaran khusus, yaitu: (1) ketrampilan teknis; (2) ketrampilan hubungan manusia; (3) ketrampilan yang bersifat konseptual
E.Peranan OSIS sebagai Tempat Kaderisasi Kepemimpinan
Ada 3 peranan organisasi kaderisasi kepemipinan, yaitu: (1) organisasi sebagai alat pencapaian tujuan; (2) organisasi sebagai wadah dimana diterapkan dan dikembangkan berbagai disiplin ilmu; (3) Organisasi sebagai tempat di mana dibina dan dikembangkan potensi siswa.
Oleh : Suwandi, S.Pd.,M.Pd.
Disajikan dalam kegiatan LDKS OSIS/IPM SMP Muh 8 Gresik
Pacet, Mojokerto : 24 Oktober 2009
Untuk lebih jauh memahami kepemimpinan OSIS, perlu dikaji dan dipahami pengertian seperti: tugas dan tanggung jawab, maksud dan tujuan, kualifikasi serta ukuran sampai sejauh mana kepemimpinan OSIS berhasil melaksanakan tugasnya.
A.Tugas dan Tanggung jawab
Ada 4 macam tugas pokok pemimpin, yaitu: (1) merumuskan atau mendefinisikan misi organisasi; (2) mengusahakan tercapainya tujuan atau misi organisasi; (3) mempertahankan keutuhan organisasi dan; (4) mengatasi konflik.
Merumuskan misi organisasi Ada 7 misi utama OSIS, yaitu:(1) meningkatkan peran serta siswa dalam menjaga dan membina sekolah sebagai wawasan wiyata mandala; (2) menumbuhkan daya tangkal pada diri siswa terhadap pengaruh negatif; (3) memantapkan pelaksanaan ekstrakurikuler; (4) meningkatkan apresiasi dan penghayatan seni; (5) menumbuhkan sikap berbangsa dan bernegara; (6) menumbuhkan dan mengembangkan jiwa, semangat serta nilai-nilai perjuangan 45; (7) meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani.
Mengusahakan tercapainya misi atau tujuan, meliputi sebagai berikut:Memahami peranan OSIS baik sebagai definisi maupun sebagai sarana mencapai tujuan.
1. Sebagai definisi, OSIS adalah satu jalur pembinaan kesiswaan yang berfungsi sebagai organisasi intra sekolah untuk mencapai pembinaan kesiswaan
2. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan, OSIS berperan dalam: (a) menumbuhkan dan mengembangkan berbagai macam kemampuan, seperti: manajerial, kepemimpinan, berkomunikasi, kematangan berpikir dan nilai-nilai kepribadian siswa; (b) menumbuhkan dan menmgembangkan karier siswa.;(c) mengembangkan berbagai disiplin ilmu;(d) menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya; (e) tempat untuk saling bertukar fikiran, pengalaman dan pengetahuan; dan sarana mencapai tujuan pembinaan kesiswaan.
3. Memahami pengorganisasian OSIS yang meliputi: (a) perangkat OSIS; (b) pengurus OSIS; (c) perincian tugas
Kualifikasi yang perlu dimiliki pemimpin OSISiapapun yang akan diangkat dan ditugaskan untuk menduduki tanggung jawab sebagai pembina dan pemimpin siswa harus memiliki kualifikasi kepemimpinan.
1. Persyaratan kepemimpinan secara umum, yaitu : (a) kondisi fisik; (b) nilai-nilai kepribadian; (c) memiliki berbagai mancam keahlian; (d) berwibawa.
2. Persyaratan secara khusus, pembina dan pengurus OSIS harus memahami persyaratan yang telah ditetapkan, yaitu: (a) berbudi pekerti baik, sopan santun terhadap guru, orang tua dan teman-teman siswa; (b) memiliki bakat sebagai pemimpin; (c) berkemauan, kemampuan dan pengetahuan yang memadai; (d) dapat mengatur waktu, sehingga pelajaran tidak terganggu; (e) dicalonkan oleh perwakilan kelas.
3.Mengusahakan keutuhan organisasi
Keutuhan organisasi adalah mutlak demi terwujudnya kerjasama dan koordinasi antar sesama anggota, maupun unsur-unsur pemimpin yang lain. Keutuhan organisasi hanya akan terwujud apabila unsur-unsur pemimpin memiliki kewibawaan atau kharisma (kemampuan untuk mengendalikan bawahan atau orang lain).Seorang pemimpin yang paling baik (the best manager) adalah: seorang yang mampu mempengaruhi bukan hanya anggotanya, melainkan juga rekan sesama dan atasannya. Untuk itu maka setiap pemimpin perlu memiliki dan mendayagunakan kewibawaannya secara tepat, sehingga akan mendukung tercapainya keutuhan dan tujuan organisasi.
Ada beberapa indikator keberhasilan atas kewibawaan seorang pemimpin OSIS, yaitu dengan memperhatikan indikator, sebagai berikut: (a) rasa kebersamaan kelompok; (b) kerjasama antar kelompok dan antar kelompok dengan pembina, pengurus osis dan perwakilan kelas; (c) efisiensi pemberdaya manusia yang ada; (d) peningkatan kualitas kehidupan kerja; (e) tercapainya rasa percaya diri pada sesama siswa dan; (f) peningkatan kecakapan sesama siswa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
4.Mengatasi atau mengendalikan konflik
Konflik pada hakekatnya merupakan segala macam bentuk hubungan antar sesama siswa maupun dengan pemimpin secara pribadi maupun kelompok yang mengandung sifat berlawanan. Dapat pula diartikan bahwa konflik itu merupakan proses sosial antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya yang disebabkan oleh adanya perbedaan ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat-istiadat, dan keyakinan.
Konflik dalam organisasi bersumber pada: (a) manusia dan perilakunya; (b) organisasi; (c) komunikasi
Ada beberapa cara untuk menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (a) menekan konflik dengan cara yang halus; (b) membiarkan konflik selesai dengan sendirinya; (c) melalui kompromi; (d) mengkonfrontasikan pihak-pihak yang terlibat
B.Kualifikasi
Yang perlu dipertimbangkan dalam pengangkatan seorang pemimpin adalah: managerial skill(Keterampilan manajemen )
Ada 3 kategori keterampilan manajemen, yaitu:
1. Keterampilan teknis (tehnical skill )
a.pengetahuan mengenai metode, proses, prosedur dan macam-macam teknik untuk melaksanakan suatu kegiatan
b.kemampuan menggerakkan berbagai sarana yang ada.
2. Keterampilan hubungan manusia (human skill )
a.pengetahuan perilaku manusia dan proses kerjasama
b.kemampuan memahami isi hati, sikap dan motif orang lain mengapa mereka berkata dan melakukan pekerjaan
c.kemampuan berkomunikasi secara jalas dan efektif
d.kemamouan menciptakan kerjasama yang efektif dan koordinatif, praktis dan diplomatis
e.pengetahuan perilaku yang asptabel
3. Keterampilan konsepsional (conceptual skills )
a.kemampuan analisis
b.bersifat rasional
c.cakap dalam berbagai konsepsi
d.kreatif dalam berbagai ide dalam pemecahan masalah
e.mampu mengemukakan analisis berbagai kejadian serta memahami macam kecenderungan
f.mampu mengantisipasi perintah
g.mampu mengenali berbagai macam kesempatan dan problem-problem potensial.
Kesimpulannya: apabila kualifikasi yang meliputi aspek-aspek kapribadian, perilaku, kewibawaan, pemahaman serta dukungan teknis, kamampuan bekerjasama dan kemampuan konsepsional dimiliki oleh setiap pemimpin OSIS, berarti akan terpenuhinya kepemimpinan OSIS yang profesional.
C.Kriteria Keberhasilan
Keberhasilan kepemimpinan OSIS dapat dilihat dan dirasakan melalui 3 macam indikasi, yaitu: (1) dinamika OSIS sebagai organisasi; (2) sikap para siswa terhadap pengurus OSIS; (3) pengaruh kewibawaan pemimpin terhadap sesama siswa
D.Pelatihan
Sasaran pelatihan kepemimpinan diarahkan pada 3 macam sasaran khusus, yaitu: (1) ketrampilan teknis; (2) ketrampilan hubungan manusia; (3) ketrampilan yang bersifat konseptual
E.Peranan OSIS sebagai Tempat Kaderisasi Kepemimpinan
Ada 3 peranan organisasi kaderisasi kepemipinan, yaitu: (1) organisasi sebagai alat pencapaian tujuan; (2) organisasi sebagai wadah dimana diterapkan dan dikembangkan berbagai disiplin ilmu; (3) Organisasi sebagai tempat di mana dibina dan dikembangkan potensi siswa.
Oleh : Suwandi, S.Pd.,M.Pd.
Disajikan dalam kegiatan LDKS OSIS/IPM SMP Muh 8 Gresik
Pacet, Mojokerto : 24 Oktober 2009
Sikapmu (oleh Ina Tresnawati)
Wajar jika sikapmu berubah....tapi kamupun tau aku tidak begitu...tidak seperti yang kau bayangkan....Berilah aku celah untuk bernafas....berilah aku waktu untuk bicara....agar kau yakin....aku sungguh-sungguh....dan tak ada yang berubah....(Ina Tresnawati, facebook, senin, 26 Oktober 2009)
Penuh Berkah
Mentari...betapa setianya kau hadir menyambut pagi..tanpa lelah kau berikan sinarmu..senyummu hangatkan pagi...Bangkitkan semangatku dan sahabatku tuk beraktifitas....Semoga hari ini penuh berkah,semoga hari ini membawa kebahagiaan...Do'a orang terkasihmu kan selalu menyertai langkahmu....Raih asa menjadi nyata...Alloh kan slalu menjaga dan menuntun jalanmu...amiin (Ina Tresnawati, facebook:29 Oktober 2009)
Rabu, 28 Oktober 2009
Sepuluh "T" oleh Regina Minosa
SEPULUH T Untuk (Insya Allah) Selamat Dunia Akherat. : 1. sholaT. 2. giaT 3.cepaT . 4. hormaT. 5. hemaT 6. tepaT 7.No maksiaT . 8. semangaT. 9. Tepat. 10.sahabaT. (Ini menurut guwe loh, guwe juga belum bisa melakukan semua, dan kalo gak setuju juga gak apa-apa. he..he..he...) oleh Regina Minosa karyawati di Jakarta diambil dari facebook pada hari rabu, 28 Oktober 2009
Selasa, 27 Oktober 2009
SIKAP (attitude)
Pengertian sikap : (1) sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada obyek tersebut (Berkowitz,1972); (2) sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon (Chave,1928; Bogardus, 1931; Mead, 1934; Gordon Allport,1935, La Pierre, 1934)); (3) sedangkan (La Pierre, 1934) mendefinisikan lagi sikap sebagai suatu pola perilaku atau kesiapan antisipatif, predisposition atau keadaan mudah terpengaruh untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhanan dikatakan bahwa sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. (4) sikap adalah konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek; (5) sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposition atau keadaan mudah terpengaruh tindakan (konasi) seseorang terhadap sesuatu aspek lingkungan sekitarnya (Secord & Backman, 1964).
Sikap merupakan jalinan multidimensional yang terdiri atas kognisi, afeksi, dan konasi. Ketiga komponen ini berada paa suatu kontinum evaluatif. Sebagai contoh, orang yang cemas atau takut bepergian dengan naik pesawat terbang, ini disebut afeksi negatif terhadap penerbangan. Dengan demikian menimbulkan respon percaya bahwa pilot pesawat terbang adalah orang yang terlatih dan berpengalaman dalam bidangnya, ini disebut kognisi positif mengenai pilot, dampaknya maka muncul respon orang bersedia ikut terbang dengan pesawat itu, maka ini yang disebut konasi positif.
Sikap seseorang terhadap suatu obyek selalu berperanan sebagai perantara antara responnya dan obyek yang bersangkutan. Respon diklasifikasikan menjadi tiga macam : (1) respon kognitif yaitu respon persepstual dan pernyataan mengenai apa yang diyakini;(2) respon afektif yaitu respon syaraf simpatetik dan pernyataan afeksi; (3) respon konatif atau respon perilaku yaitu respon berupa tindakan dan pernyataan mengenai perilaku. Masing-masing klasifikasi respon ini berhubungan dengan ketiga komponen sikapnya. Dengan melihat salah satu komponen diantara tiga bentuk respon tersebut sikap seseorang sudah dapat diketahui. Meskipun demikian, deskripsi lengkap mengenai sikap individu tentu saja diperlukan dengan melihat ketiga macam respon secara lengkap.
Sikap merupakan jalinan multidimensional yang terdiri atas kognisi, afeksi, dan konasi. Ketiga komponen ini berada paa suatu kontinum evaluatif. Sebagai contoh, orang yang cemas atau takut bepergian dengan naik pesawat terbang, ini disebut afeksi negatif terhadap penerbangan. Dengan demikian menimbulkan respon percaya bahwa pilot pesawat terbang adalah orang yang terlatih dan berpengalaman dalam bidangnya, ini disebut kognisi positif mengenai pilot, dampaknya maka muncul respon orang bersedia ikut terbang dengan pesawat itu, maka ini yang disebut konasi positif.
Sikap seseorang terhadap suatu obyek selalu berperanan sebagai perantara antara responnya dan obyek yang bersangkutan. Respon diklasifikasikan menjadi tiga macam : (1) respon kognitif yaitu respon persepstual dan pernyataan mengenai apa yang diyakini;(2) respon afektif yaitu respon syaraf simpatetik dan pernyataan afeksi; (3) respon konatif atau respon perilaku yaitu respon berupa tindakan dan pernyataan mengenai perilaku. Masing-masing klasifikasi respon ini berhubungan dengan ketiga komponen sikapnya. Dengan melihat salah satu komponen diantara tiga bentuk respon tersebut sikap seseorang sudah dapat diketahui. Meskipun demikian, deskripsi lengkap mengenai sikap individu tentu saja diperlukan dengan melihat ketiga macam respon secara lengkap.
Pendidikan Emosi (Suwandi, S.Pd.,M.Pd)
Pendidikan emosi adalah pendidikan yang merangsang anak didik untuk berfikir sebelum bertindak, menjadi pemberani, menjadi pemimpin dirinya sendiri, pengarang cerita hidupnya sendiri, tahu cara menyaring rangsangan-rangsangan yang menyebabkan stres dan mempelajarinya fakta logika, masalah kongkrit, dan ketenangan hidup.
Ciri utama dalam perilaku praktis mendidik emosi berarti memberikan diri sendiri tanpa mengharapkan imbalan apapun, setia dengan pendapat, mendapatkan kenikmatan dari rangsangan kecil yang ada, tahu cara menghadapi kekalahan, mengambil risiko untuk mengubah impian menjadi kenyataan, dan mempunyai keberanian untuk berjalan melalui tempat yang masih asing.
Pendidikan emosi menjadikan manusia untuk peka terhadap situasi sekitar, tidak mudah tersinggung, bersikap kasih sayang, merasakan perasaan orang lain, memikirkan akibat dari perilaku, tahan terhadap penderitaan hidup, mudah menerima kritik, dan tidak merasa terasing.
Ada dua jenis orang yang merasa terasing, yaitu: (1) mereka tidak menyakiti orang lain disertai tidak memikirkan masa depan; (2) mereka tidak mempunyai impian atau cita-cita berjalan begitu saja dalam melalui kehidupan sehingga hidup secara konformis.
Upaya melindungi stabilitas emosi harus dihindari suatu penghinaan, sebab penghinaan akan merusak perasaan orang lain seharian, selama satu bulan, dan bahkan seumur hidupnya.
Mendidik dengan emosi
Orang yang baik mengajari anaknya cara menggosok gigi, sedangkan orang yang hebat mengajari anak mengenal kebersihan jiwa. Tidak terhitung orang tua yang setiap hari mengingatkan anak mengenal kesehatan mulut, tetapi bagaimana dengan kesehatan emosi mereka. Apa gunanya mencegah gigi berlubang kalau emosi anak menjadi tempat sampah dari pikiran negatif, keluhan, ketakutan, reaksi implusif, dan dorongan sosial.
Marilah kita ajari anak cara menjaga emosi. Ingat semua yang langsung benturan dengan emosi akan secara drastis mempengaruhi memori dan memori inilah yang akan membentuk kepribadiannya. Membentuk kepribadian diperlukan nutrisi kejiwaan yang baik melalui perilaku yang sopan santun, jujur, berani, pemaaf, semangat, sabar, tawakal, membuat keputusan, dan rasa aman. Anak dilatih menjadi pemimpin dan bukan menjadi boneka dimana menjadi pemimpin tidak berarti harus mampu menyelesaikan setiap masalah dan menanggung semua masalah disekitarnya.
Ciri utama dalam perilaku praktis mendidik emosi berarti memberikan diri sendiri tanpa mengharapkan imbalan apapun, setia dengan pendapat, mendapatkan kenikmatan dari rangsangan kecil yang ada, tahu cara menghadapi kekalahan, mengambil risiko untuk mengubah impian menjadi kenyataan, dan mempunyai keberanian untuk berjalan melalui tempat yang masih asing.
Pendidikan emosi menjadikan manusia untuk peka terhadap situasi sekitar, tidak mudah tersinggung, bersikap kasih sayang, merasakan perasaan orang lain, memikirkan akibat dari perilaku, tahan terhadap penderitaan hidup, mudah menerima kritik, dan tidak merasa terasing.
Ada dua jenis orang yang merasa terasing, yaitu: (1) mereka tidak menyakiti orang lain disertai tidak memikirkan masa depan; (2) mereka tidak mempunyai impian atau cita-cita berjalan begitu saja dalam melalui kehidupan sehingga hidup secara konformis.
Upaya melindungi stabilitas emosi harus dihindari suatu penghinaan, sebab penghinaan akan merusak perasaan orang lain seharian, selama satu bulan, dan bahkan seumur hidupnya.
Mendidik dengan emosi
Orang yang baik mengajari anaknya cara menggosok gigi, sedangkan orang yang hebat mengajari anak mengenal kebersihan jiwa. Tidak terhitung orang tua yang setiap hari mengingatkan anak mengenal kesehatan mulut, tetapi bagaimana dengan kesehatan emosi mereka. Apa gunanya mencegah gigi berlubang kalau emosi anak menjadi tempat sampah dari pikiran negatif, keluhan, ketakutan, reaksi implusif, dan dorongan sosial.
Marilah kita ajari anak cara menjaga emosi. Ingat semua yang langsung benturan dengan emosi akan secara drastis mempengaruhi memori dan memori inilah yang akan membentuk kepribadiannya. Membentuk kepribadian diperlukan nutrisi kejiwaan yang baik melalui perilaku yang sopan santun, jujur, berani, pemaaf, semangat, sabar, tawakal, membuat keputusan, dan rasa aman. Anak dilatih menjadi pemimpin dan bukan menjadi boneka dimana menjadi pemimpin tidak berarti harus mampu menyelesaikan setiap masalah dan menanggung semua masalah disekitarnya.
FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DALAM ILMU PENGETAHUAN Oleh Suwandi *)
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, apabila dikatakan kebenaran filsafat berarti kebenaran menyeluruh dari hasil pemikiran yang cermat dan renungan kritis. Menurut kandungan materi yang dibahas secara garis besar ada empat cabang filsafat yaitu: metafisika, epistemologi, logika, dan etika.
Metafisika merupakan filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 1997) pada filsafat metafisika ini dalam memandang manusia ada dua hal yaitu: (1) manusia pada hakekatnya adalah spiritual karena yang ada sebenarnya yaitu jiwa atau roh sedangkan organ tubuh yang lain semu belaka. Sehingga pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan bertujuan untuk mengaktualisasi diri.
Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran. Menurut Pidarta (1997) dalam membahas filsafat epistemologi ada lima sumber ilmu pengetahuan dan empat teori kebenaran. Lima sumber ilmu pengetahuan, yaitu: (1) otoritas, yang terdapat pada ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel; (2) common sense, yang ada pada adat dan tradisi; (3) intuisi yang berkaitan dengan perasaan; (4) pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman; (5) pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah. Adapun empat teori kebenaran, meliputi sebagai berikut: (1) Koheren, sesuatu akan benar apabila ia konsisten dengan kebenaran umum. (2) Korespondensi, sesuatu akan benar apabila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan. (3) Pragmatisme, sesuatu dipandang benar apabila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan. (4) Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berfikir dengan benar. Melalui pemahaman tentang filsafat logika dimungkinkan manusia bisa berfikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
Etika sebagai filsafat yang menjelaskan tentang perilaku manusia yang didalamnya meliputi adanya norma yang berlaku di masyarakat, nilai-nilai yang diakui masyarakat dan ajaran agama sebagai bahan pokok pemikiran dalam filsafat etika.
Pengertian
Dalam bahasan ini yang dimaksud filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya (Pidarta, 1997). Pengertian “sesuatu” dalam pengertian filsafat tersebut dapat berarti “terbatas” dan dapat pula berarti “tidak terbatas”. Bila berarti “terbatas” filsafat membatasi diri akan hal-hal tertentu saja, misalnya filasafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Apabila berarti “tidak terbatas” filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering disebut sebagai filsafat umum.
Sedangkan pengertian dari filsafat ilmu pengetahuan adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan soal pengetahuan dan bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu. Pertanyaan mendasar dalam filsafat pengetahuan meliputi : (1) apakah pengetahuan itu (2) bagaimana kita memperolah pengetahuan dan bagaimana kita tahu tentang sesuatu serta mempertanyatakan hakikat pengertian dengan bertanya (3) apakah kebenaran itu (Bodner, 1986; Ryan & Cooper, 1992 dalam Suparno, 1997).
Munculnya filsafat konstruktivisme, menurut von Glasersfeld, 1988 (dalam Suparno, 1997) bermula dari adanya pengertian konstruktif kognitif yang muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan olah Jean Piaget (baca Jin Piasye) ilmuwan dari Perancis ini. Dengan demikin Mark Baldwin dan Jean Piaget sebagai tokoh yang berjasa dalam mengembangkan filsafat konstruktivisme dalam ilmu pengetahuan.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang dimengerti manusia sesudah ia menyaksikan, mengamati dan mempelajari. Pengetahuan merupakan ungkapan dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamatan obyektivisme. Pengetahuan telah ditangkap manusia lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Dengan demikian tidak ada yang baku dalam pengetahuan karena suatu saat dapat berubah setelah ditemukan lagi dalil atau teori baru.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.
Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Dengan demikian manusia mengetahui sesuatu berdasarkan interaksi dengan obyek dan lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penjamahan, penciuman, dan merasakannya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Maka pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru kepada otak murid. Oleh karena itu perlu disadari bahwa murid sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka selama ini.
Semua pengetahuan yang kita peroleh merupakan konstruksi kita sendiri. Pengetahuan tidak seperti barang yang dapat ditransfer (dialihkan) begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Apabila seorang guru bermaksud mentransfer (memindahkan) konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus ditafsirkan dan dikonstruksikan oleh seorang murid lewat pengalamannya selama ini (von Glasersfeld, 1996 dalam Suparno, 1997). Maka tidak heran selama ini banyaknya murid yang salah menangkap apa yang diajarkan guru mereka sehingga menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja, melainkan harus dikonstruksikan atau minimal ditafsirkan sendiri oleh murid.
Secara efektif agar seseorang dapat melakukan proses konstruksi diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dengan yang lainnya (von Glasersfeld, 1996 dalam Suparno, 1997). Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengetahuan sangat penting kerena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting agar dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus dan dapat melihat kesamaan serta perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.
Menurut Jean Piaget, 1970 (dalam Suparno, 1997) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan, yaitu; (1) aspek figuratif, dan (2) aspek operatif. Aspek berfikir figuratif adalah imajinasi keadaan sesaat dan statis yang meliputi suatu persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap obyek atau fenomena. Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu tingkatan ke tingkatan lain. Setiap tingkat keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan demikian aspek yang lebih penting dari berfikir adalah aspek operatif sebab memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu tingkatan tertentu ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pentingnya melakukan konstruksi mengenai pengetahuan bertujuan untuk mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan realitas. Dengan kata lain mengkonstruksikan pengetahuan yang sesuai dengan pengalaman hidup manusia sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru (Shapiro, 1994 dalam Suparno, 1997).
Gagasan konstruktivisme terhadap pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut: (1)pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia nyata belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui subyek. (2) Subyek membentuk skema kognisi, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. (3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (von Glasersfeld dan Kitchener, 1987 dalam Suparno, 1997).
Kebenaran dalam Filsafat Konstruktivisme
Pengetahuan yang telah kita miliki selama ini bukanlah realitas dalam arti umum. Dalam filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Adapun yang dimengerti oleh manusia adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu obyek. Dengan demikian para ahli konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana manusia menjadi tahu akan sesuatu.
Paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Dengan kata lain, orang dapat membuktikan pengetahuan yang dimiliki tentang sesuatu dengan cara membandingkan dengan realitas ontologis-nya. Sedangkan para penganut ajaran kontruktivisme berpendapat kebenaran itu bila ilmu pengetahuan telah teruji dengan memiliki viabilitas yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasionalnya. Dalam istilah sederhana dikatakan bahwa suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Referensi:
Hadi, P. Hardono.1994.Epistemologi Filsafat Pengetahuan 0leh Kenneth T.Gallangher, Yogyakarta: Kanisius
Pidarta, Made.1997. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius
Metafisika merupakan filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 1997) pada filsafat metafisika ini dalam memandang manusia ada dua hal yaitu: (1) manusia pada hakekatnya adalah spiritual karena yang ada sebenarnya yaitu jiwa atau roh sedangkan organ tubuh yang lain semu belaka. Sehingga pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan bertujuan untuk mengaktualisasi diri.
Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran. Menurut Pidarta (1997) dalam membahas filsafat epistemologi ada lima sumber ilmu pengetahuan dan empat teori kebenaran. Lima sumber ilmu pengetahuan, yaitu: (1) otoritas, yang terdapat pada ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel; (2) common sense, yang ada pada adat dan tradisi; (3) intuisi yang berkaitan dengan perasaan; (4) pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman; (5) pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah. Adapun empat teori kebenaran, meliputi sebagai berikut: (1) Koheren, sesuatu akan benar apabila ia konsisten dengan kebenaran umum. (2) Korespondensi, sesuatu akan benar apabila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan. (3) Pragmatisme, sesuatu dipandang benar apabila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan. (4) Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berfikir dengan benar. Melalui pemahaman tentang filsafat logika dimungkinkan manusia bisa berfikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
Etika sebagai filsafat yang menjelaskan tentang perilaku manusia yang didalamnya meliputi adanya norma yang berlaku di masyarakat, nilai-nilai yang diakui masyarakat dan ajaran agama sebagai bahan pokok pemikiran dalam filsafat etika.
Pengertian
Dalam bahasan ini yang dimaksud filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya (Pidarta, 1997). Pengertian “sesuatu” dalam pengertian filsafat tersebut dapat berarti “terbatas” dan dapat pula berarti “tidak terbatas”. Bila berarti “terbatas” filsafat membatasi diri akan hal-hal tertentu saja, misalnya filasafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Apabila berarti “tidak terbatas” filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering disebut sebagai filsafat umum.
Sedangkan pengertian dari filsafat ilmu pengetahuan adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan soal pengetahuan dan bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu. Pertanyaan mendasar dalam filsafat pengetahuan meliputi : (1) apakah pengetahuan itu (2) bagaimana kita memperolah pengetahuan dan bagaimana kita tahu tentang sesuatu serta mempertanyatakan hakikat pengertian dengan bertanya (3) apakah kebenaran itu (Bodner, 1986; Ryan & Cooper, 1992 dalam Suparno, 1997).
Munculnya filsafat konstruktivisme, menurut von Glasersfeld, 1988 (dalam Suparno, 1997) bermula dari adanya pengertian konstruktif kognitif yang muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan olah Jean Piaget (baca Jin Piasye) ilmuwan dari Perancis ini. Dengan demikin Mark Baldwin dan Jean Piaget sebagai tokoh yang berjasa dalam mengembangkan filsafat konstruktivisme dalam ilmu pengetahuan.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang dimengerti manusia sesudah ia menyaksikan, mengamati dan mempelajari. Pengetahuan merupakan ungkapan dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamatan obyektivisme. Pengetahuan telah ditangkap manusia lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Dengan demikian tidak ada yang baku dalam pengetahuan karena suatu saat dapat berubah setelah ditemukan lagi dalil atau teori baru.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.
Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Dengan demikian manusia mengetahui sesuatu berdasarkan interaksi dengan obyek dan lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penjamahan, penciuman, dan merasakannya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Maka pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru kepada otak murid. Oleh karena itu perlu disadari bahwa murid sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka selama ini.
Semua pengetahuan yang kita peroleh merupakan konstruksi kita sendiri. Pengetahuan tidak seperti barang yang dapat ditransfer (dialihkan) begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Apabila seorang guru bermaksud mentransfer (memindahkan) konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus ditafsirkan dan dikonstruksikan oleh seorang murid lewat pengalamannya selama ini (von Glasersfeld, 1996 dalam Suparno, 1997). Maka tidak heran selama ini banyaknya murid yang salah menangkap apa yang diajarkan guru mereka sehingga menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja, melainkan harus dikonstruksikan atau minimal ditafsirkan sendiri oleh murid.
Secara efektif agar seseorang dapat melakukan proses konstruksi diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dengan yang lainnya (von Glasersfeld, 1996 dalam Suparno, 1997). Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengetahuan sangat penting kerena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting agar dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus dan dapat melihat kesamaan serta perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.
Menurut Jean Piaget, 1970 (dalam Suparno, 1997) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan, yaitu; (1) aspek figuratif, dan (2) aspek operatif. Aspek berfikir figuratif adalah imajinasi keadaan sesaat dan statis yang meliputi suatu persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap obyek atau fenomena. Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu tingkatan ke tingkatan lain. Setiap tingkat keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan demikian aspek yang lebih penting dari berfikir adalah aspek operatif sebab memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu tingkatan tertentu ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pentingnya melakukan konstruksi mengenai pengetahuan bertujuan untuk mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan realitas. Dengan kata lain mengkonstruksikan pengetahuan yang sesuai dengan pengalaman hidup manusia sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru (Shapiro, 1994 dalam Suparno, 1997).
Gagasan konstruktivisme terhadap pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut: (1)pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia nyata belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui subyek. (2) Subyek membentuk skema kognisi, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. (3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (von Glasersfeld dan Kitchener, 1987 dalam Suparno, 1997).
Kebenaran dalam Filsafat Konstruktivisme
Pengetahuan yang telah kita miliki selama ini bukanlah realitas dalam arti umum. Dalam filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Adapun yang dimengerti oleh manusia adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu obyek. Dengan demikian para ahli konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana manusia menjadi tahu akan sesuatu.
Paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Dengan kata lain, orang dapat membuktikan pengetahuan yang dimiliki tentang sesuatu dengan cara membandingkan dengan realitas ontologis-nya. Sedangkan para penganut ajaran kontruktivisme berpendapat kebenaran itu bila ilmu pengetahuan telah teruji dengan memiliki viabilitas yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasionalnya. Dalam istilah sederhana dikatakan bahwa suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Referensi:
Hadi, P. Hardono.1994.Epistemologi Filsafat Pengetahuan 0leh Kenneth T.Gallangher, Yogyakarta: Kanisius
Pidarta, Made.1997. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius
Hakekat Pemimpin
Pemimpin pada hakekatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Kekuasaan itu bersumber pada imbalan, paksaan, keahlian, acuan, hukum, kharisma/kekuatan pribadi. Maka berdasarkan ini bawahan atau orang menerima atau tidak menerima atas segala sesuatu yang harus dilakukan.
Jenis pemimpin
Pemimpin formal, yaitu yang terjadi kerena pemimpin bersandar pada wewenang formal. Sedangkan pemimpin informal, yaitu terjadi karena pemimpin tanpa wewenang formal berhasil mempengaruhi perilaku orang lain.
Ciri-ciri pemimpin
Setiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu: (1) penglihatan sosial; (2) kecakapan berfikir abstrak; (3) keseimbangan emosi.
Seorang pemimpin harus memiliki karekter sebagai berikut: (1) kekuatan jasmani yang cukup;(2) kekuatan rohani yang cukup;(3) semangat untuk mencapai tujuan;(4) penuh antusias;(5) ramah dan penuh perasaan;(6) jujur dan adil;(7) memiliki kecakapan teknis;(8) dapat mengambil keputusan;(9) cerdas;(10) punya kecakapan mengajar;(11) penuh keyakinan;(11) punya keberanian;(12) ulet dan tahan uji; (13) suka melindungi; (14) penuh inisiatif; (15) memiliki daya tarik; (16) simpatik; (17) intelegensi tinggi; (18) waspada; (19) bergairah dalam bekerja; (20) rendah diri; dan (21) obyektif.
Efektifitas Pemimpin
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemimpin, yaitu: (1) kepribadian, pengalaman masa lalu dan harapan pimpinan meliputi: nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi gaya kepemimpinannya; (2) Pengharapan dan perilaku atasan;(3) karekteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap gaya kepemimpinan; (4) Kebutuhan tugas, setiap tugas bahwan juaga akan mempengaruhi gaya pemimpin; (5) Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan;(6) Harapan dan perilaku rekan.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Kekuasaan itu bersumber pada imbalan, paksaan, keahlian, acuan, hukum, kharisma/kekuatan pribadi. Maka berdasarkan ini bawahan atau orang menerima atau tidak menerima atas segala sesuatu yang harus dilakukan.
Jenis pemimpin
Pemimpin formal, yaitu yang terjadi kerena pemimpin bersandar pada wewenang formal. Sedangkan pemimpin informal, yaitu terjadi karena pemimpin tanpa wewenang formal berhasil mempengaruhi perilaku orang lain.
Ciri-ciri pemimpin
Setiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu: (1) penglihatan sosial; (2) kecakapan berfikir abstrak; (3) keseimbangan emosi.
Seorang pemimpin harus memiliki karekter sebagai berikut: (1) kekuatan jasmani yang cukup;(2) kekuatan rohani yang cukup;(3) semangat untuk mencapai tujuan;(4) penuh antusias;(5) ramah dan penuh perasaan;(6) jujur dan adil;(7) memiliki kecakapan teknis;(8) dapat mengambil keputusan;(9) cerdas;(10) punya kecakapan mengajar;(11) penuh keyakinan;(11) punya keberanian;(12) ulet dan tahan uji; (13) suka melindungi; (14) penuh inisiatif; (15) memiliki daya tarik; (16) simpatik; (17) intelegensi tinggi; (18) waspada; (19) bergairah dalam bekerja; (20) rendah diri; dan (21) obyektif.
Efektifitas Pemimpin
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemimpin, yaitu: (1) kepribadian, pengalaman masa lalu dan harapan pimpinan meliputi: nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi gaya kepemimpinannya; (2) Pengharapan dan perilaku atasan;(3) karekteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap gaya kepemimpinan; (4) Kebutuhan tugas, setiap tugas bahwan juaga akan mempengaruhi gaya pemimpin; (5) Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan;(6) Harapan dan perilaku rekan.
Minggu, 25 Oktober 2009
Sumber daya Pendidikan
Etos kerja adalah sikap mental untuk menghasilkan produk kerja yang baik, bermutu tinggi dalam bentuk jasa dan barang. Etos kerja dipengaruhi sikap, pandangan, cara-cara, dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang ada pada seseorang, suatu kelompok, dan suatu bangsa. Adapun pembinaan etos kerja ini merupakan bagian dari pembinaan tata nilai (value system). Upaya untuk mengubah etos kerja yang buruk dengan mengantarkan perilaku karyawan, guru, ke arah yang lebih produktif dengan cara mengubah sikap, pandangan, harapan dan ketrampilan atau keahlian yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman mutakhir agar lebih efektif dan produktif.
Sumber daya dalam lembaga pendidikan antara lain meliputi: manusia, sarana dan prasarana, biaya, teknologi, dan informasi. Dalam dunia pendidikan sumber daya yang paling penting adalah sumber daya manusia, oleh karena itu manajer pendidikan perlu menyediakan tenaga, bakat kreatif, dan semangat dari sumber daya manusia ini untuk dapat mengefektifkan roda organisasi sekolah. Tugas terpenting dalam manajer pendidikan yaitu menyeleksi, menempatkan, melatih, dan mengembangkan sumber daya manusia agar menghasilkan sumber daya yang paling penting ini memiliki etos kerja tinggi. Sebab pengembangan sumber daya manusia mempunyai hubungan positif dengan produktivitas, pertumbuhan organisasi sekolah, kepuasan kerja, kekuatan dan profesionalitas manajer pendidikan.
Sumber daya manusia meliputi aspek: kompetensi, keterampilan atau skill, kemampuan, sikap, perilaku, motivasi, dan komitmen. Dalam lembaga pendidikan sumber daya manusia dibedakan dalam dua kelompok yaitu: tenaga teknis, tenaga administrasi, dan tenaga penunjang. Tenaga teknis kependidikan ditugaskan menjadi tenaga kependidikan (pembimbing, pengajar, dan pelatih), pengelola, pengawas, laboran, teknisi sumber belajar, peneliti, dan penguji.
Sumber daya dalam lembaga pendidikan antara lain meliputi: manusia, sarana dan prasarana, biaya, teknologi, dan informasi. Dalam dunia pendidikan sumber daya yang paling penting adalah sumber daya manusia, oleh karena itu manajer pendidikan perlu menyediakan tenaga, bakat kreatif, dan semangat dari sumber daya manusia ini untuk dapat mengefektifkan roda organisasi sekolah. Tugas terpenting dalam manajer pendidikan yaitu menyeleksi, menempatkan, melatih, dan mengembangkan sumber daya manusia agar menghasilkan sumber daya yang paling penting ini memiliki etos kerja tinggi. Sebab pengembangan sumber daya manusia mempunyai hubungan positif dengan produktivitas, pertumbuhan organisasi sekolah, kepuasan kerja, kekuatan dan profesionalitas manajer pendidikan.
Sumber daya manusia meliputi aspek: kompetensi, keterampilan atau skill, kemampuan, sikap, perilaku, motivasi, dan komitmen. Dalam lembaga pendidikan sumber daya manusia dibedakan dalam dua kelompok yaitu: tenaga teknis, tenaga administrasi, dan tenaga penunjang. Tenaga teknis kependidikan ditugaskan menjadi tenaga kependidikan (pembimbing, pengajar, dan pelatih), pengelola, pengawas, laboran, teknisi sumber belajar, peneliti, dan penguji.
Definisi Manajemen dan Pendidikan
DEFINISI MANAJEMEN
Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Dikatakan ilmu karena manajeman dapat dipandang sebagai bidang pengetahuan yang secara sistematis berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Disebut sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan tugas. Sedangkan manajemen dikatakan profesi karena dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional dituntut oleh kode etik.
Manajemen merupakan suatu proses karena sebagai suatu sistem yang setiap komponennya menampilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan. Dalam proses manajeman ada beberapa fungsi yang ditampilkan oleh seorang manajer. Dengan demikian manajer dapat dikatakan sebagai orang, struktur, tugas, dan tehnologi.
Fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer atau pimpinan dalam proses manajemen, meliputi: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading), dan pengawasan (controling). Dari pemahaman ini maka ketemulah pengertian manajemen yaitu suatu proses merencana, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
DEFINISI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah: (1) proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan tingkah lakunya di dalam masyarakat tempat mereka hidup; (2) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khusus yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum; (3) sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lainnya; (4) sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik; (5) suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik; (6) sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar yang berupa pembentukan sikap, pengetahuan dan keterampilan untuk bekerja;(7) pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang sesuai dengan kegiatan seseorang untuk kehidupan sosialnya dan membantu kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi (menurut Crow and Crow);(8) pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;(9) merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (Emile Durkheim: 1858-1917))
Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Dikatakan ilmu karena manajeman dapat dipandang sebagai bidang pengetahuan yang secara sistematis berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Disebut sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan tugas. Sedangkan manajemen dikatakan profesi karena dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional dituntut oleh kode etik.
Manajemen merupakan suatu proses karena sebagai suatu sistem yang setiap komponennya menampilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan. Dalam proses manajeman ada beberapa fungsi yang ditampilkan oleh seorang manajer. Dengan demikian manajer dapat dikatakan sebagai orang, struktur, tugas, dan tehnologi.
Fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer atau pimpinan dalam proses manajemen, meliputi: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading), dan pengawasan (controling). Dari pemahaman ini maka ketemulah pengertian manajemen yaitu suatu proses merencana, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
DEFINISI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah: (1) proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan tingkah lakunya di dalam masyarakat tempat mereka hidup; (2) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khusus yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum; (3) sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lainnya; (4) sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik; (5) suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik; (6) sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar yang berupa pembentukan sikap, pengetahuan dan keterampilan untuk bekerja;(7) pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang sesuai dengan kegiatan seseorang untuk kehidupan sosialnya dan membantu kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi (menurut Crow and Crow);(8) pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;(9) merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (Emile Durkheim: 1858-1917))
Langganan:
Postingan (Atom)