Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Surabaya kembali dievaluasi. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengeluarkan keputusan, tidak akan mengucurkan alokasi anggaran untuk RSBI karena beberapa pertimbangan.
Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya menghapus item biaya operasional pendidikan (BOP) untuk RSBI. Penghentian tersebut diakui oleh Rismaharini, sebagai kesengajaan pemerintah kota (pemkot) Surabaya setelah melihat kualitas seluruh RSBI di Surabaya ada di bawah standar.
Salah satu poin yang disorot Risma terkait dengan RSBI adalah rendahnya kualitas guru dalam berbahasa Inggris yang di bawah rata-rata. Padahal standar RSBI, nilai TOEFL guru minimal di atas 300. Kenyataannya masih banyak guru yang belum lancar berbahasa Inggris. Karena itu, Risma mengingatkan, jangan silau dengan nama besar RSBI, yang penting kualitasnya bagus.
Keputusan cukup tegas Risma tersebut memang bisa diterima. Anggaran operasional RSBI di Surabaya yang selama ini digelontorkan cukup besar. Untuk membiayai 10 sekolah berstatus RSBI pemkot mengucurkan Rp 78 miliar. Sungguh mubazir bila anggaran sebesar itu tak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Karena itu, siapapun yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang berkualitas patut memberi dukungan pada Wali Kota Surabaya ini. Penghentian anggaran RSBI bukan sebagai cermin ketidak-berpihakan pemkot terhadap kualitas pendidikan yang unggul. Sebaliknya, sebagai upaya menyadarkan pengelola RSBI, bahwa anggaran besar itu merupakan investasi pendidikan yang harus dijawab dengan kualitas sepadan. Lebih baik bila biaya itu untuk memperbaiki kelas reguler yang selama ini kurang diperhatikan.
Taraf Internasional
Mencermati kebijakan pemkot Surabaya menghentikan anggaran RSBI tersebut patut menjadi contoh bagi kepala daerah kabupaten/kota yang lain untuk melakukan kebijakan serupa. Yaitu mengevaluasi keberadaan RSBI yang rata-rata belum mampu memenuhi target yang semestinya. RSBI selama ini tak lebih dari proyek aji mumpung pelaksana pendidikan untuk mendapat gelontoran dana dari pemerintah, sekaligus membuat standar biaya mahal yang harus ditanggung orangtua siswa yang selama ini terbuai dengan bertaraf internasional.
Semua itu tak lepas dari keawaman orangtua siswa, utamanya yang ada di daerah. Padahal saat ini kelas RSBI sudah merambah ke sekolah-sekolah di pelosok kecamatan. Hanya karena rasa bangga serta rengekan sang anak agar bisa diterima di kelas RSBI, mereka rela membayar di atas rata-rata sekolah reguler. Semua itu tak lepas dari hipnotis sarana kelas RSBI yang terkesan mewah dibanding kelas reguler.
Orangtua mungkin sekadar membayangkan anak-anak mereka akan menerima layanan pendidikan bertaraf internasional dan dalam waktu singkat anak-anak minimal bakal mahir berbahasa Inggris. Nyatanya? Realitas menunjukkan, tak ada bedanya antara kelas RSBI dengan kelas reguler biasa. Sang guru pun kembali pada habitatnya masing-masing, sesuai bidang studi yang menjadi keahliannya. Bahasa pengantar mereka dalam proses belajar-mengajar (kecuali pelajaran bahasa Inggris) tetap menggunakan bahasa Indonesia, yang kadang masih bercampur dengan bahasa Jawa.
Satu hal yang sangat mencolok pembedaannya ialah beban orangtua siswa yang anaknya ada di kelas RSBI terasa lebih berat. Anak-anak mereka tak mungkin mendapat subsidi atau bantuan pendidikan. Seakan telah menjadi dogma, bahwa siap masuk kelas RSBI, harus siap mengeluarkan biaya sendiri sepenuhnya. Kecerdasan anak belum menjadi jaminan mereka harus berada di kelas yang digembar-gemborkan berlevel internasional, bila tak diimbangi dengan kecerdasan finansial orangtua.
Inilah kenyataan yang tak dimungkiri berkaitan dengan RSBI. Terjadi diskriminasi hak untuk pendidikan yang layak benar-benar terpapar nyata. Di tengah harapan masyarakat agar anaknya mendapat pendidikan bertaraf internasional, justru beban biaya disejajarkan dengan standar internasional. Lagi-lagi bukan pendidikan berharga lokal, kualitas internasional. Sebaliknya, harga internasional, kualitas lokal.
Karena itu, kebijakan cerdas Wali Kota Surabaya ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi kabupaten/kota lainnya untuk melakukan evaluasi serupa. Daerah tak semestinya hanya mengejar penghargaan dari pemerintah pusat untuk disebut sebagai daerah yang sukses dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Pujian semestinya selaras dengan kenyataan yang ada secara riil. Bila dicermati, beberapa daerah yang pernah mendapat penghargaan presiden terkait dengan masalah pendidikan, dalam kenyataannya abu-abu belaka.
Sekolah harus berani menolak menjadi RSBI bila kemampuan yang dimiliki ternyata jauh dari prasyarat ideal RSBI. Jangan silau dengan kucuran anggaran pusat yang Rp 400 juta per tahun, kemudian memaksa diri dan wali siswa untuk menyetor jutaan rupiah agar anaknya bisa duduk di kelas RSBI.
Opini Abd Sidiq Notonegoro
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik
Surya Online Senin, 15 Nopember 2010 | 08:06 WIB
http://www.surya.co.id/2010/11/15/rsbi-jangan-cari-muka.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar