Selasa, 12 Oktober 2010

Pawai Budaya Jawa Timur 2010, 12 Daerah Tak Kirim Delegasi

SURABAYA - SURYA- Selasa (12/10) besok, masyarakat Jatim memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-65 Pemerintah Provinsi (Pemprov). Namun, peringatan tetenger kelahiran wilayah berpenduduk sekitar 38 juta jiwa itu menyisakan masalah. Tanggal 12 Oktober 1945 yang diperingati sebagai hari jadi masih terancam digugat.
Munculnya ancaman gugatan itu, karena sebagai fakta sejarah, selama ada bukti baru otentik dan ada pihak yang mengajukan, maka hari jadi yang menandai berdirinya suatu pemerintahan dapat ditinjau ulang.
Buku Riwayat Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang diterbitkan Badan Arsip Provinsi Jatim 2008 menjelaskan, tanggal 12 Oktober 1945 resmi ditetapkan sebagai HUT Pemprov Jatim, setelah pihak eksekutif membentuk tim pengkaji. Tim yang diketuai Nunuk Supri Rahayu itu menelusuri selama tiga tahun, 15 Oktober 2004 sampai 7 Mei 2007. Hasilnya, tim sepakat hari jadi Pemprov 19 Agustus 1945. Alasannya, 19 Agustus merupakan waktu terbentuknya Provinsi Jatim bersama tujuh provinsi lain, yakni Jabar, Jateng, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, dua hari setelah kemerdekaan RI diproklamirkan. Pada tanggal sama, juga keluar maklumat pengangkatan orang Indonesia pertama, RMTA Soerjo sebagai Gubernur Jatim. Oleh eksekutif, tanggal itu lantas diajukan ke DPRD Jatim untuk dibahas.
Dewan lantas menugaskan Komisi A (Pemerintahan) mengkajinya. Selama pengkajian, para wakil rakyat sempat studi banding ke Belanda. Hasilnya, Komisi A memberi lima alternatif HUT Pemprov, yakni 1 Juli 1928 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sementara empat tanggal lain, terbentuk setelah masa kemerdekaan, masing-masing 22 Agustus 1945, 12 Oktober 1945, 25 Oktober 1945, dan 15 Agustus 1950.
Dari lima itu, sidang paripurna DPRD Jatim 7 Agustus 2007 menyepakati 12 Oktober 1945 sebagai hari jadi, bukannya 19 Agustus 1945 yang diusulkan eksekutif. Dewan mengemukakan tiga alasan, momentum pengangkatan dan/atau pelantikan Soerjo sebagai orang Indonesia pertama jadi Gubernur Jatim, yakni Soerjo baru menjalankan tugas di Surabaya 12 Oktober. Lalu, bulan Oktober dinilai memiliki nilai filosofis dan heroik nasionalisme sangat tinggi, karena pada 25 Oktober 1945 Soerjo dengan berani menolak permintaan Sekutu –Jenderal Mallaby, untuk menyerahkan diri dan datang ke kapal perang mereka. Selain itu, tahun 1945 dinilai sebagai titik tolak bangkitnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia setelah meraih kemerdekaan.
Namun, setelah dewan menggedok putusan itu, protes dari masyarakat menyeruak. Meski demikian, sejak saat itu, setiap 12 Oktober Pemprov Jatim selalu memperingati hari jadinya. Ini berarti, tahun ini merupakan keempat kalinya peringatan HUT Pemprov.
Rangkaian acara berlangsung mulai 24 September–23 Oktober. Dimulai dengan pertandingan olahraga antarpejabat struktural di lingkungan Pemprov, pawai budaya Jatim, talk show Gubernur, upacara peringatan HUT di Gedung Grahadi, sidang paripurna dewan, pembukaan Jatim Fair 2010 oleh Wakil Presiden, jalan sehat, bakti sosial, dan ditutup dengan tasyakuran dan pergelaran wayang kulit.
Namun, peringatan HUT Pemprov Jatim tampaknya kurang disambut pemkab/pemkot. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah peserta mengikuti pawai budaya, Minggu (10/10) sore. Dari 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya 26 daerah mengirim delegasinya. Sementara 12 daerah lainnya tidak berpartisipasi dalam event tahunan itu.
Ke-12 daerah itu, Kota Madiun, Kota Blitar, Kota Malang, Kota Pasuruan, Kabupaten Sumenep, Tuban, Ngawi, Trenggalek, Lumajang, Situbondo, Pacitan, dan Kabupaten Blitar.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setdaprov Jatim, Gunarto, menyayangkan banyaknya daerah yang tak berpatisipasi dalam pawai budaya Jatim. Padahal, melalui momentum ini masyarakat dapat mengetahui budaya yang dimiliki Jatim.
Meski hanya diikuti 26 kabupaten/kota, pawai budaya kemarin berlangsung meriah. Ribuan masyarakat Surabaya dan sekitarnya antusias menyaksikan kendaraan hias dan pernak-pernik budaya. Selain dari Jatim, peserta dari Lampung dan Bangka Belitung juga mengikuti pawai.
Sayangnya, selama proses pawai, arus lalu lintas di rute pawai tidak ditutup sehingga membuat peserta pawai, penonton, dan pengendara jalan tumplek blek jadi satu di sepanjang jalan yang dilalui.
Kemacetan arus lalin tak terhindarkan. Sementara para penonton banyak yang merengsek maju keluar dari trotoar, dan para peserta pawaipun ikut merasakan semburan asap knalpot dari kendaraan yang melintas di sisi kanan mereka.
Namun di balik kesemrawutan, penampilan istimewa ditunjukkan hampir seluruh peserta. Apalagi mereka tak hanya jalan tapi juga beratraksi di sepanjang perjalanan. Seperti kelompok dari Nganjuk terlihat pasukan pembawa busur, berjalan sambil menari memainkan busur panah. Juga dari Tulungagung yang menampilkan atraksi tari tiban, dimana di antara para penari saling melecutkan cambuk aren.
Khawatir Kalah Meriah
Sejarawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Aminuddin Kasdi membenarkan penetapan 12 Oktober 1945 sebagai HUT Pemprov merupakan pilihan DPRD Jatim. Karena tim peneliti Pemprov, di mana dia juga dijadikan narasumber, mengusulkan 19 Agustus 1945 sebagai hari jadi. ”Kenapa 19 Agustus, karena saat itulah Provinsi Jatim dibentuk bersama tujuh provinsi lainnya. Dan pada tanggal itu juga, Soerjo ditunjuk dan diangkat sebagai Gubernur Jatim pertama kali,” ujarnya kepada Surya, kemarin.
Aminuddin menyebut bahwa 19 Agustus yang dipilih, karena anggota DPRD takut perayaan HUT Pemprov tenggelam dan kalah meriah dengan perayaan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus.
Padahal, meski Gubernur Soerjo baru pindah ke Surabaya 12 Oktober 1945, setelah diangkat sebagai gubernur pada 19 Agustus, Soerjo, kata Aminuddin telah melaksanakan tugas sebagai gubernur. Di antaranya, mengikuti musyawarah daerah di Jakarta pada September 1945. Selain itu, awal Oktober, mantan anggota PPKI dan BPUPKI itu juga mengadakan rapat kerja di Kediri. Kegiatan ini diberitakan Surat Kabar KENPO tahun 1945. ”Jadi dari sisi historis, penetapan 12 Oktober sebagai HUT Pemprov sebenarnya tak ada nilai historisnya,” katanya.
”Namun, karena DPRD punya kewenangan menetapkan hari jadi, sebagai bentuk representasi kemauan politik dari pemerintah dan warga di Jatim, saya menghormati putusan itu,” imbuhnya.
Meski demikian, penetapan 12 Oktober sebagai HUT Pemprov, kata Aminuddin, masih bisa digugat. Syaratnya harus ada yang protes ke Gubernur, agar Gubernur kembali mengajukan peninjauan ulang ke DPRD. ”Prinsipnya, tidak untuk mencari menang dan kalah. Tapi, semata-mata untuk meluruskan sejarah,” katanya.
Gubernur Soekarwo mempersilakan jika ada pihak berniat menggugat hari jadi Pemprov. ”Sejarah memang harus begitu, tidak pernah diam. Selalu dilakukan discovery terhadap bukti-bukti sejarah,” tegasnya kepada Surya.
Jika itu nanti ada, yang melakukan bukan Pemprov, tetapi para ahli dan sejarawan yang harus menginisiasinya, dengan ditunjang bukti otentik dan berbagai arsip. ”Kami hanya fasilitator saja,” imbuhnya.
Pakde menilai wajar penemuan hari jadi tak memuaskan semua pihak. Karena banyak pendekatan yang dapat dilakukan. Namun, yang penting penentuan hari jadi harus ngugemi visi Indonesia Centris dan meninggalkan visi Nerlando Centris. Selain itu, penentuan hari jadi juga dapat mencerminkan peristiwa penting dalam sejarah provinsi.
Pakde Karwo mengingatkan, yang terpenting dari penetapan hari jadi bukanlah sekadar penetapan tanggal, bulan, tahun. Tapi, diharapkan memiliki makna pengentalan ikatan nasionalisme dan idealisme masyarakat Jatim. Sehingga dapat menjadi symbol pembangkit semangat solidaritas masyarakat untuk membangun Jatim bersama-sama dan menikmati hasilnya juga secara bersama-sama. {Mujib Anwar-Sri Handi Lestari}
Surya Online Senin, 11 Oktober 2010 06:59 WIB
http://www.surya.co.id/2010/10/11/pawai-budaya-12-daerah-tak-kirim-delegasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar