Rabu, 16 Desember 2009

Koin Untuk Prita Tembus RpJawa Pos Selasa, 15 Desember 2009 500 Juta

Koin untuk Prita Tembus Rp 500 juta
Daerah Belum Masuk, Bank Tak Mau Terima

JAKARTA - Pengumpulan koin untuk Prita Mulyasari, yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang dan Pengadilan Tinggi (PT) Banten dalam kasus perdata pencemaran nama baik RS Omni Internasional, secara resmi ditutup pukul 21.00 tadi malam (14/12).

Penghitungan koin kemarin dimulai pukul 09.00. Hingga pukul 21.27, para relawan menghitung jumlah koin mencapai Rp 416.001.500. Tetapi, aktivitas penghitungan belum selesai.

Kalau dijumlah dengan sumbangan sebelumnya, dana sumbangan untuk Prita mencapai lebih dari setengah miliar rupiah (Rp 500 juta).

Sebelumnya, mantan Men­teri Perindustrian (Menperind) Fah­mi Idris menyumbang separo dari kerugian material dan immaterial yang ditetapkan PT Banten, yakni Rp 102 juta. Lantas, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyumbang Rp 50 juta. Jadi, total dana sumbangan untuk Prita sudah mencapai Rp 568 juta.

Jumlah sumbangan akan terus bertambah. Sebab, penghitungan beberapa karung koin belum selesai. Begitu pula sumbangan koin dari daerah-daerah. ''Belum semua sampai kepada kami,'' kata Yusro Muhammad Santoso, salah seorang relawan Koin untuk Prita, di markas penghitungan di Jalan Langsat 1/3a, Kramat Pela, Jakarta Selatan.

Kamis lusa (17/12) Yusro berharap agar penghitungan seluruh karung rampung. Lalu, uang itu akan diserahkan secara simbolis pada 20 Desember bertepatan dengan Hari Kesetiakawanan Sosial. Rencananya, akan ada konser akbar yang diselenggarakan sebuah majalah musik. ''Saat itu, secara simbolis uang koin akan diserahkan kepada Ibu Prita,'' tutur Yusro.

Namun, para relawan malah menghadapi kesulitan baru. Me­reka sulit mencari bank yang mau menerima uang receh itu. Fa­­silitator relawan Didi Nugrahadi me­ngatakan, uang itu akan di­se­rahkan kepada Prita dalam bentuk rekening. Sebab, RS Om­ni men­cabut gugatannya.

Namun, hingga tadi malam, belum ada bank yang mau menerima. Didi sudah mendekati tiga bank besar nasional. Tetapi, me­reka kompak menolak. ''Tidak perlu saya sebut nama banknya. Mereka beralasan tidak mau dianggap berpihak pada gerakan sosial tertentu,'' jelasnya.

Pengacara RS Omni Internasional kemarin (14/12) secara resmi mengajukan pencabutan gugatan perdata atas Prita Mulyasari. Itu berarti Prita dipastikan tidak perlu lagi membayar denda Rp 204 juta sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Syaratnya, Prita mau menyepakati akta perdamaian. ''Pencabutan gugatan perdata ini realisasi keinginan rumah sakit untuk berdamai,'' kata Risna Situmorang, pengacara RS Omni. (aga/kim/dwi)

Minggu, 13 Desember 2009

SYARIF ABDUL HAMID ALKADRIE SANG PERANCANG LAMBANG NEGARA INDONESIA

Perancang lambang negara Indonesia berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila ternyata bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang punya gelar Sultan Hamid II putra sulung dari Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dari Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat. Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli 1913 merupakan darah campuran Indonesia – Arab.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung.

Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger).

Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II.

Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila.

Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951

Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.

Oleh Suwandi, S.Pd.,M.Pd
* Aktivis Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Surabaya tinggal di Gresik, Indonesia

Jumat, 11 Desember 2009

CERITA CINTA

Hari itu ...
resahmu ku himpun
hingga merimbun
rembulan melenggang genit
bentuk bayangan manis pada tirai tipis
senyum manis tangan kau gamit
nuju peraduan penuh kembang
dalam dekapmu ...
nyanyian rindu bertalu dalam degupmu
rasanya aku ingin mencubit
bulan tinggal seiris mengintip
saat kau urai gelungku
terbaca makna dalam tatapmu
hasrat melukis rahimku
tetes peluh, bilur biru
menyatu beku di gunung itu
nafasmu seharum gaharu
kala kau reguk madu cerukku
Bulan tersenyum dan berlalu
dihantar aroma kembang
kita terbang ke awan

Hari Jum’at, 11 Desember 2009 Jam 14:20
Catatan Oleh : Frentianik Widodo

Kamis, 10 Desember 2009

KOIN DAN KEADILAN

Kebenaran laksana bintang yang samar di balik malam
Memanggil jiwa, membuka pintu wajah penganiayaan
Lalu mengajarkan kepadamu tentang makna kedukaan yang dalam
Menyingkap tabirnya bersama lautan kebaikan dan gelombang kebajikan
Kebenaran itu menuntun jiwamu membuka misterinya sendiri

Atas namanya kau galang sejuta koin recehan
Lalu kau hempaskan pada wajah keadilan yang bernilai milyaran
Karena hukum telah memalingkan jiwanya pada wajah perbudakan
Dan dakwaan telah merajai kekuasaan seolah tak tertaklukkan
Namun kebenaran mendendangkan nyanyian indahnya
dan menyangga keagungan harapan pada kehidupan yang pualam

Duhai jiwamu yang hampa oleh rasa keadilan
Telah kau taburkan benih-benih kebohongan dalam jiwa hukummu
Dan kau semaikan aturan-aturan semu di ladang kuasamu
Menghujamkan keputusan sharkasme di ujung palu dakwaanmu
Kulihat kebijaksanaanmu menggoreskan kepedihan dan menebarkan aroma penindasan
Mengalirkan air mata darah ketidakpuasan dan menorehkan luka pemberontakan

Lihatlah di sudut-sudut beranda rumah dan di tepi jalanan
Suara-suara hati yang rindu kebenaran telah bergema memenuhi semesta jiwa
Memulai iring-iringan cinta menuju taman istana singgasana keadilan
Menghampiri segenap jiwamu yang terjangkit dahaga kekuasaan

Duhai dimanakah kau simpan nyala api cinta pada negara
Jika bibirmu tak lagi menggemakan suara pada jiwa sang teraniaya
Telingamu seolah tuli hingga tak mendengar tangisan pilu sang terdakwa
Hatimu telah di belenggu oleh kemuliaan dan kehormatan tak berharga
kau bentangkan tanganmu pada kesia-siaan tak terhingga
Hingga semangat pengabdian yang kau teriakan dalam wacana
Hanyalah lautan hampa tanpa jiwa.........

Tangerang , 10 Desember '09
Catatan Eny Suhaeni

Sabtu, 05 Desember 2009

NEGERI IRONI

Seorang manusia lemah dan papa
dalam kehausannya mencuri semangka
lalu kau jatuhkan palu dakwa
seolah kau tengah menebar benih cinta
pada gemuruh keadilan yang beraroma dusta
pada perangkat hukum yang tak kenal lara
duhai..dimanakah kemanusiaanmu bertahta?

Dalam genggaman hukum kekuasaanmu
air mata dahaganya mengalirkan darah
bergelayut di udara, menapaki lorong-lorong kepiluan
menyangga kehampaan pikiran agungmu
meniupkan kesia-siaan nafas kebijakanmu
menaburkan benih-benih luka pada sang waktu
hatikupun haus memandang kuasamu yang nista
meski samar, namun ku dendangkan pada para penari disinggasanamu
agar bisa ku minum secangkir anggur kearifan pada dahaga keadilan

Lihatlah, pemandangan memilukan di sudut negeri ini
seorang manusia papa nan lemah
menjulurkan tangannya meminta derma keadilan padamu
mengais luka sambil menapaki istana singgasana perangkat hukummu
namun kulihat kau tetap asyik berpesta pora berbagi kenikmatan di ladang kuasamu
menari bersama diringi lagu-lagu merdu keangkuhan aturanmu
meretas keadilan hanya dalam kebenaran perspektifmu

Duhai…pedih nian semesta jiwa ini
hati siapakah yang sanggup menggemakan suaranya?
Jika jiwamu ditulikan oleh debu kekuasaan?
Dan nur'animu dibutakan oleh polusi ketamakan jabatan?
Tangis jiwanya berkobar menyala namun tak mampu menembus kepekatan hatimu
bahkan sedu sedannya tak menggetarkan dinding-dinding nuranimu
dadanya sesak tak lagi bertenaga, hingga menjelma asa yang hampa
sementara tahtamu tak geming dalam kemilau kecurangan
hingga gemanya menggetarkan kemanusiaan dan menembus langit kepiluan

Dimanakah gerangan hati putihmu bertahta wahai para penguasa
jika korupsi trilyunan masih menyimpan sengketa, padahal ia dusta tak terkira
bahkan manusia miskin papa,dalam kehausannya mengambil semangka
hingga tak dinyana ia malah masuk penjara
sementara para perampok uang negara
kau biarkan melenggang di mana-mana...
Betapa negeri ini sebuah negeri dagelan belaka….
Yang makin marak dipenuhi seribu petaka....

Tangerang, 5 Desember 2009
Catatan Eny Suhaeni

Selasa, 01 Desember 2009

Keunggulan dan Semangat (Suwandi, M.Pd.)

Keunggulan dan kerja keras tidak mengenal itu tidak mengenal garis keturunan, gelar kesarjanaan/kebangsawanan/kehormatan yang disendang, mata pencaharian, dan jenjang pendidikan. Siapa saja bisa mencapai keunggulan dan mampu bekerja keras asal memiliki semangat tinggi, jiwa yang selalu ingin tahu, dan tingkat kesabaran yang baik sehingga menggangkat harkat dan martabat manusia ke dalam tingkatan orang-orang yang tinggi